Ada apa dengan Marcell dan Dewi Lestari?
Sinar Dharma berusaha
bertanya langsung kepada dua sosok yang cukup menyita perhatian kita
akhir-akhir ini. Berikut bincang lepas Sinar Dharma dengan Marcell dan
Dewi yang berlangsung santai penuh keakraban di kediaman mereka di
sebuah apartemen di Jakarta.
Ditemui di lobi apartemen
kediamannya, Dewi menyapa ramah kehadiran kami. Kami diajak ke teras
sebuah café kecil di sebelah kolam renang di bagian belakang apartemen.
Setelah memesan minuman segar buat kami, obrolan santai pun bergulir,
walau Marcell masih belum bergabung.
Dewi memulai kisahnya
bagaimana pertama kali bersentuhan dengan ajaran Buddha. Apa yang
diyakini Dewi saat ini, keseluruhannya bermula dari pikiran yang terbuka
serta merupakan proses belajar dan mengalami dalam tiga fase. Fase
pertama bermula dari sebuah kejadian pada tahun 1999 ketika ia mengalami
sebuah ‘pencerahan’ yang membuatnya melepas label agama yang dianutnya
saat itu. Dengan tanpa menggenggam ‘mati’ suatu keyakinan, Dewi memulai
pencarian realitas tertinggi, mempelajari berbagai ajaran agama dengan
tanpa prejudice, tanpa prasangka, tanpa membandingbandingkan.
Fase
ke dua bermula ketika Dewi menulis buku keduanya yang berjudul Akar.
Riset yang dilakukannya ketika menulis buku ini semakin membuka
cakrawala Dewi terhadap ajaran Buddha. “Ini adalah periode di mana saya
jatuh cinta pada Buddhisme,” demikian aku Dewi.
Kelahiran Keenan
(anak Marcell dan Dewi) merupakan fase ketiga dari proses pemahaman dan
pengalamannya akan Buddhisme. Dewi, - dan Marcell - menyadari bahwa
suatu ketika Keenan akan menjadi bagian dari masyarakat dan akan
dituntut memiliki identitas agama. “Walau saya sangat nyaman hidup tanpa
jubah agama, tapi jika harus memilih ajaran untuk membimbing anak saya,
maka ajaran Buddha-lah pilihan saya.”
Pada hakekatnya, apa yang
dilakukan Dewi tersebut sesungguhnya dalam ajaran Buddha dikenal sebagai
Ehipassiko, yakni mempelajari dan membuktikan sendiri, bukan sekedar
mengimani. Sebagaimana ketika Dewi ditanya apa alasan utamanya memilih
ajaran Buddha, Dewi berpendapat ajaran Buddha tidak memiliki
paradoks-paradoks yang saling bertentangan dan tidak memiliki figur Tuhan
yang dapat melakukan penghukuman, yang ada adalah konsekuensi karma
yang mana membawa manusia menjadi lebih bertanggung jawab atas dirinya
sendiri.
Obrolan dengan Dewi sempat terhenti ketika Marcell dari
kejauhan berjalan mendekati kami. Tanpa disangka, Marcell memberi salam
khas Buddhis dengan sikap tangan anjali (merangkapkan kedua telapak
tangan di depan dada). Marcell pun segera terlibat dalam wawancara, atau
lebih tepat disebut diskusi, yang semakin menghangat.
Menurut
Marcell, potensi dirinya untuk bersentuhan dan mengenal ajaran Buddha
sudah lama ada, karena sejak kecil dia selalu mempertanyakan banyak hal
yang oleh banyak keyakinan dianggap tabu untuk dipertanyakan. “Waktu
kecil, sering kali ketika gue bertanya, hal itu dianggap berdosa. Tapi
gue punya keyakinan bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara akal
pikiran dan hati,” jelas Marcell.
Dewi, bagi Marcell adalah
pembuka celah-celah yang mengetahui bahwa apa yang menjadi pertanyaannya
sejak kecil dapat dijawab oleh ajaran Buddha. Bahkan Marcell yakin
bahwa pada kehidupan yang lalu Dewi adalah pembimbing spiritualnya.
Kala
mencari tahu lebih jauh bagaimana menjadi seorang Buddhis, Marcell dan
Dewi semakin terkesima ketika mereka mengetahui bahwa menjadi Buddhis
tidak mutlak harus menjalani prosesi visudhi tisarana (penahbisan umat).
Menjadi Buddhis yang sesungguhnya adalah menjalankan praktik kebenaran
dalam kehidupan sehari-hari, memahami sesuatu itu sebagaimana adanya,
bukan sekedar bisa menjalani kebaktian dan ritual lainnya.
Ketika
disinggung soal koleksi figur Buddha yang demikian banyak di rumahnya
yang ada di Bandung, Dewi bercerita bahwa sejak kecil dirinya sudah
demikian tertarik dengan figur-figur Buddha, baik berupa rupang (arca)
ataupun lukisan. Setiap kali melihat Buddharupang, ada rasa teduh yang
didapatkan dari personifikasi diri Buddha. Lebih jauh lagi, mereka
merasakan suasana meditatif yang dapat dihadirkan dengan adanya
Buddharupang dalam rumah.
“Tapi bukan berarti kita menyerahkan
nyawa kita pada patung-patung tersebut, karena kita bukan menyembah
patung-patung tersebut,” jelas Marcell. “Kita tidak menyerahkan diri
pada patung Buddha, tapi kita menjadikan figur panutan kita itu untuk
mengingatkan kita agar kita tidak salah jalan. Kita tidak menyerahkan
diri pada suatu entitas, tapi pencerahan harus dengan usaha sendiri,”
lanjutnya memberi pemahaman.
Ketika mengomentari buku Keyakinan
Umat Buddha karya Bhikkhu Sri Dhammananda, Marcell dan Dewi sependapat
bahwa ajaran Buddha yang diulas dalam buku tersebut sangat konsisten,
tidak ada dualitas yang bertentangan satu sama lain. Hal-hal yang semula
dikira akan bertele-tele diulas dengan lugas, tegas dan dapat diterima
akal sehat. Dari buku ini, mereka berpendapat bahwa ajaran Buddha
memiliki lapisan-lapisan yang sangat tipis dan mudah untuk dikupas
karena ajaran Buddha bukan ajaran yang dogmatis.
Pemahaman mereka
yang cukup dalam terhadap ajaran Buddha terlihat begitu jelas ketika
mereka berbicara tentang mukjizat. Banyak orang menjual hal-hal mistis
untuk menarik umat, sedangkan ajaran Buddha justru tidak membenarkan hal
tersebut karena yang paling penting dalam ajaran Buddha adalah proses.
Hal-hal mistik alih-alih membuat orang memahami ajaran secara benar tapi
justru hanya memotivasi orang untuk sekedar mendapatkan kekuatan gaib.
“Saya yakin Buddha mampu menyeberangi sungai dengan berjalan di atas
air, tapi Buddha tidak akan melakukan hal itu,” komentar Marcell.
“Kenapa harus repot-repot berlatih bertahun-tahun untuk bisa melakukan
itu, padahal dengan membayar perahu kita sudah bisa menyeberang.”
Pemahaman
yang dalam akan ajaran Buddha juga terlihat dari pernyataan Dewi bahwa
yang menjadi prioritas ke depan adalah belajar dan mempraktikkan
meditasi, walau keinginan tersebut masih berbenturan dengan padatnya
jadwal kegiatan mereka masing-masing saat ini.
Tanpa terasa satu
setengah jam telah berlalu begitu cepat dan Marcell harus bersiap untuk
latihan band. Sinar Dharma juga menyadari sudah waktunya untuk mohon
diri, akhirnya obrolan hangat yang sangat terbuka ini pun berhenti
sampai di sini dulu. Semoga apa yang disampaikan oleh Marcell dan Dewi
ini menjadi trigger bagi
banyak orang untuk semakin terbuka mempelajari ajaran kebenaran yang telah disampaikan secara sempurna
oleh Sang Buddha, dan memotivasi umat Buddha untuk mempraktikkan Dharma dengan tekun.
8 comments:
Agama gonta ganti aja kaya pake baju..
Kmren islam, abis itu kristen, kemudian budha, begitu nikah yg ke 2 balik lagi ke islam.. Gimana itu bs bgitu????
Heran
Agama gonta ganti aja kaya pake baju..
Kmren islam, abis itu kristen, kemudian budha, begitu nikah yg ke 2 balik lagi ke islam.. Gimana itu bs bgitu????
Heran
sangat positif, karena budha mengajarkan ketulusan hati dan cinta kasih terhadap sesama dan semua kehidupan yang ada di alam semesta ini.
semangat dan terus semangat
Jhony cank apakah membasmi muslim rohingya merupakan wujud cinta kasih terhadap sesama..?
masak satu biksu gila jadi representasi semua umat Budha? semua agama juga pasti ada beberapa umat yang salah jalan kali Bro... namanya juga miliaran orang, pasti ada yang baik banget dan jahat banget, atau pintar banget dan bodoh banget...
namanya orang kan bisa galau... wajar lah gonta2 agama... emang idealnya kita belajar semua agama dulu baru memeluk satu ketika pikiran kita sudah matang... jangan cuma ikutin lingkungan dan orang tua...
@Aidil Ahmad, anda belum tahu betapa luhurnya agama buddha...anda kebanyakan dijejali doktrin islam radikal...sebenarnya ini tidak berhubungan dengan agama, tapi dibesar-besarkan oleh islam radikal seolah-olah agama Buddha adalah jahat. Saya jelaskan ya...Etnis Rohingya itu adalah pendatang beragama islam yang banyak tinggal di salah satu propinsi negara Myanmar,oleh karena semakin lama semakin banyak, timbul niat dari etnis Rohingya itu untuk mengambil 1 propinsi untuk dijadikan negara yang berdasarkan / berlandaskan islam, mereka ingin kudeta, adakah negara yang mau membiarkan saja atau memberi cuma-cuma, negaranya diambil oleh pendatang ? Tentu saja Negara Myanmar itu akan memperjuangkan mati-matian, tapi itulah liciknya etnis Rohingya, mereka kasih bumbu-bumbu fitnah (paling gampang ya agama) yang menyudutkan negara Myanmar yang sebagian besar mayoritas penduduknya beragama Buddha, seolah-olah jahat, padahal yang jahat tuh mereka...
Aidil, aku tanya diri kamu aja deh....misal, kamu punya tanah 1 hektar, ada yang ingin tinggal disitu, mulanya sewa, misal orang itu udah bertahun-tahun tinggal disitu dan sudah berkembang biak, karena saking banyaknya, mereka mengklaim itu tanah milik mereka...apakah kamu akan memberinya dengan cuma-cuma ? lanjut nih ya...kamu marah dong tanah kamu dikuasai, tapi galakan mereka, kamu difitnah ngga peduli orang, kemudian kamu diperlakukan tidak manusiawi oleh mereka...apa yang kamu lakukan ? Tanahnya mau kamu kasih gratis ? Kalau kata Cak lontong mah "MIKIIIR..."
Jadi jelas ya...
Tolong kasih tahu teman-teman kamu juga yang pandangannya sempit...supaya nggak gampang diprovokasi orang !! Salam kasih dari aku....HD
@HD owh jadi atas dasar timbul niat dari etnis Rohingya itu untuk mengambil 1 propinsi untuk dijadikan negara yang berdasarkan / berlandaskan islam, jadi baru niat aja sudah syah yah untuk melakukan genosida pembantaian sampai ribuan org, dan yg jahat etnis rohingya,. Trus yg difitnah siapa? PBB sampe turun tangan, wartawan aja yg ngeliput di hukum 7 taun https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45393556 yg harus MIKIR SIAPA??? cak lontong ??..
Post a Comment