1. Fitnahan Sundari
Dalam kehidupan lampau, Bakal Buddha adalah seorang pemabuk bernama
Munali. Ia menuduh Pacceka Buddha bernama Surabhi dengan tuduhan kasar,
“Orang ini adalah orang yang tidak bermoral yang menyenangi kenikmatan
indria secara diam-diam.”
Karena kejahatan ucapan-Nya, Beliau terlahir kembali di alam penderitan
terus-menerus (Niraya). Dan dalam kehidupan terakhirnya sebagai Bhagavà,
di depan umum Beliau difitnah oleh Sundari, petapa pengembara perempuan
sebagai pencari kesenangan dan telah menjalin hubungan cinta dengannya.
2. Fitnahan Cincamana
Dalam kehidupan lampau, Bakal Buddha adalah seorang siswa bernama Nanda
dari seorang Pacceka Buddha bernama Sabbàbhibhu. Ia menuduh gurunya
sebagai seorang yang bersifat tidak baik.
Karena kejahatan ucapan-Nya, Beliau harus menderita selama seratus ribu
tahun di Alam Niraya. Ketika terlahir sebagai manusia, sering kali
Beliau dituduh melakukan kejahatan. Dalam kehidupan terakhir-Nya sebagai
Buddha, di depan umum Beliau difitnah sekali lagi oleh Cincamana
sebagai seorang asusila yang menyebabkan kehamilannya.
3. 500 Murid Buddha menerima fitnahan Sundari
Bakal Buddha adalah seorang brahmana guru yang menguasai tiga Veda,
seorang yang sangat terhormat. Sewaktu Beliau sedang mengajarkan Veda di
Hutan Mahàvana kepada lima ratus siswa, Bhagavà Mengajarkan Tujuh
Faktor Ketidakmunduran Bagi Para Penguasa. Saat itu mereka melihat di
angkasa seorang petapa suci bernama Bhãma mendatangi hutan ini dengan
kekuatan batinnya. Bukannya terinsiprasi, Bodhisatta malah memberitahu
lima ratus siswa-Nya bahwa petapa itu adalah seorang munafik yang
mencari kesenangan. Para siswa memercayai apa yang dikatakan oleh guru
mereka dan menyebarkan kata-kata gurunya tentang petapa suci itu sewaktu
ia sedang mengumpulkan dàna makanan.
Lima ratus siswa itu terlahir kembali sebagai para bhikkhu siswa
Bhagavà. Karena fitnah yang mereka lakukan terhadap sang petapa suci
sebagai lima ratus siswa brahmana guru dalam kehidupan lampau, mereka
dituduh telah membunuh Sundari, si petapa pengembara perempuan, yang
sebenarnya adalah korban para petapa itu. Harus dimengerti bahwa tuduhan
terhadap para siswa Buddha juga berarti tuduhan terhadap Bhagavà
sendiri.
4. Percobaan pembunuhan oleh Devadatta dengan menggunakan batu besar.
Dalam kehidupan lampau, Bakal Buddha membunuh adik sepupunya karena iri
hati. Ia melemparkan adiknya ke dalam jurang kemudian melemparnya dengan
sebuah batu besar.
Karena perbuatan jahat itu, Bhagavà dalam kehidupan terakhirnya, menjadi
korban rencana Devadatta yang hendak membunuh-Nya; tetapi karena
seorang Buddha tidak dapat dibunuh, Beliau hanya menderita luka di jari
kaki-Nya karena terkena pecahan batu yang dijatuhkan dari atas bukit
oleh Devadatta.
5. Percobaan pembunuhan oleh Devadatta dengan menggirimkan kelompok pembunuh.
Dalam salah satu kehidupan lampau, Bakal Buddha adalah seorang anak
nakal dan ketika Beliau bertemu dengan seorang Pacceka Buddha dalam
suatu perjalanan, untuk bersenang-senang, Beliau melempari pribadi mulia
tersebut dengan batu.
Karena perbuatan jahat itu, Bhagavà pernah diserang oleh sekelompok
pemanah yang diutus oleh Devadatta yang bertujuan untuk membunuh Buddha.
6. Percobaan pembunuhan oleh Devadatta dengan menggunakan Gajah Nalagiri
Ketika Bakal Buddha adalah seorang penunggang gajah, Beliau dengan
gajah-Nya, menakut-nakuti seorang Pacceka Buddha yang sedang
mengumpulkan dàna makanan yang seolah-olah hendak menginjak-injak orang
mulia tersebut.
Karena perbuatan itu, Bhagavà diancam oleh seekor gajah mabuk bernama
Nalagiri di Ràjagaha yang dikirim Devadatta untuk menginjak-injak
Bhagavà.
7. Terluka akibat pecahan batu yang digelindingkan Devadatta
Dalam salah satu kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta adalah seorang raja.
Karena keangkuhan-Nya sebagai raja, ia mengeksekusi seorang narapidana
(tanpa mempertimbangkan akibat kamma) dengan tangan-Nya sendiri menusuk
orang itu dengan tombak.
Kejahatan itu membawa-Nya ke alam penderitaan terus-menerus selama
banyak tahun yang sangat lama. Dalam kehidupan-Nya sebagai Bhagavà,
Beliau menerima perawatan atas jari kaki-Nya yang luka dengan dibedah
oleh Jãvaka, seorang dokter ahli, untuk menyembuhkannya (saat terkena
pecahan batu yang dijatuhkan oleh Devadatta).
8. Pembantaian Sanak Keluarga Sakya dan sakit kepala yang dialami Buddha
Dalam salah satu kehidupan lampau-Nya, Bakal Buddha terlahir dalam
sebuah keluarga nelayan. Beliau biasanya bergembira menyaksikan sanak
saudara-Nya menyakiti dan membunuh ikan. (Beliau sendiri tidak melakukan
pembunuhan).
Sebagai akibat dari kejahatan pikiran-Nya, dalam kehidupan terakhir-Nya
sebagai Buddha, Beliau sering mengalami sakit kepala. Sedangkan sanak
saudara-Nya dalam kehidupan itu, mereka terlahir kembali sebagai para
Sakya yang dibantai oleh Vitatubha.
9. Menerima dana berupa gandum
Ketika Bakal Buddha terlahir sebagai manusia pada masa ajaran Buddha
Phussa, ia mencerca para bhikkhu siswa Buddha dengan berkata, “Kalian
hanya pantas makan gandum, bukan nasi.”
Kata-kata kasar itu berakibat, dalam kehidupan terakhir-Nya, Bhagavà
terpaksa memakan makanan gandum selama masa vassa di Desa Brahmana
Veranjà (Beliau menetap di sana atas undangan Brahmana Vera¤jà.”)
10. Sakit punggung pada Sang Buddha
Pernah Bakal Buddha terlahir sebagai seorang petinju bayaran, saat itu ia memukul punggung lawannya hingga patah.
Sebagai akibat dari kejahatan ini, Bhagavà dalam kehidupan terakhir-Nya sering mengalami sakit punggung.
11. Diare akut pada Sang Buddha
Ketika Bakal Buddha terlahir sebagai seorang dokter dalam salah satu
kehidupan lampau-Nya, ia dengan sengaja meresepkan obat yang menyebabkan
sakit perut kepada putra seorang kaya yang enggan membayar jasa-Nya.
Atas kejahatan itu, Bhagavà dalam kehidupan terakhir-Nya menderita
penyakit disentri yang akut dan berdarah, sebelum meninggal dunia.
12. Dukkharacariya (penyiksaan diri sebelum menjadi Buddha) selama 6 tahun
Bodhisatta pernah terlahir sebagai seorang brahmana bernama Jotipala. Ia
mengucapkan kata-kata hinaan terhadap Buddha Kassapa dengan berkata,
“Bagaimana mungkin bahwa orang gundul ini telah mencapai Pencerahan
Sempurna? Pencerahan Sempurna adalah hal yang sangat jarang terjadi.”
Kata-kata hinaan ini berakibat tertundanya Pencerahan Sempurna Bhagavà.
Para Bodhisatta lainnya mencapai Pencerahan Sempurna hanya dalam
hitungan hari atau bulan, Buddha Gotama harus melewati enam tahun penuh
penderitaan dalam pencarian-Nya.
Yang bisa dipelajari dari 12 Hutang Karma Sang Buddha :
1. Buddha mengajarkan dan sudah menunjukkan untuk berani menghadapi
semua akibat perbuatan yang pernah diperbuat sebelumnya. Mau
menghindarpun tidak bisa, lebih baik menghadapi dengan berani.
2. Kamma pada saat tertentu bisa memanfaatkan kondisi yang ada untuk
mematangkan buah kamma. Contohnya adalah permusuhan Buddha dan
Devadatta. Walaupun demikian, Devadatta tidak melakukan pahala dengan
memenuhi kamma yaitu melukai kaki Sang Buddha. Malah Devadatta masuk
Neraka Avici karena perbuatannya ini.
3. Jika Sang Buddha “hanya” membayar 12 kamma terakhir-Nya, berapa
banyak kamma kita yang masih harus dibayar ? Berhentilah menanam kamma
buruk sesegera mungkin.
No comments:
Post a Comment