Pada hari ketujuh setelah Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu,
Puteri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian
yang bagus dan mengajaknya ke jendela. Dari jendela
itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan
siang. Puteri Yasodhara kemudian bertanya pada
Rahula, “Anakku, tahukah engkau siapa orang itu ?”.
Rahula menjawab, “Beliau adalah Sang Buddha, ibu”.
Yasodhara tak dapat menahan air matanya yang menitik
keluar dan berkata, “Anakku, petapa yang kulitnya kuning
keemasan dan tampak seperti Brahma dikelilingi oleh ribuan
muridnya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta
pusaka. Pergilah kepadanya dan mintalah harta pusaka
untukmu”.Pangeran Rahula, yang masih kecil itu kemudian pergi
mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari
tangan Sang Buddha mengatakan apa yang dipesankan
ibunya. Kemudian ia menambahkan, “Ayah, bahkan
bayangan ayah membuat hatiku senang. Selesai makan siang
Sang Buddha meninggalkan istana. Rahula mengikuti sambil terus
merengek, “Ayah, berikanlah aku harta pusaka. Kelak aku
akan menjadi raja, aku ingin memiliki harta pusaka.
Ayah, berikanlah aku warisan”. Tak ada orang yang
mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri
juga membiarkan Rahula berbuat demikian. Setibanya
di taman, beliau berpikir, “Rahula minta warisan
harta pusaka, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan.
Lebih baik Aku memberikan warisan berupa Tujuh Faktor
Penerangan Agung yang Aku peroleh bawah pohon Bodhi.
Dengan demikian akan mewarisi harta pusaka yang
paling mulia”.
Di vihara, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk
menahbiskan Rahula sebagai samanera. Rahula dengan
demikian merupakan samanera pertama. Mendengar
berita Rahula telah ditahbiskan menjadi samanera,
Raja Suddhodana merasa sedih sekali. Oleh karena itu ia mohon
kepada Sang Buddha agar seseorang yang akan ditahbiskan
menjadi bhikkhu atau samanera agar dengan ijin
orangtuanya. Sang Buddha menyetujui permohonan
tersebut dan mulai saat itu tidak mentahbiskan
bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapat ijin dari
orangtuanya.
Rahula merupakan putera dari Pangeran
Siddhattha dan Puteri Yasodhara. Ketika Pangeran
Siddhattha mendengar berita bahwa isterinya telah
melahirkan seorang putera, mukanya menjadi pucat.
Pangeran mengangkat kepalanya menatap langit dan berkata, “Rahulajato,
bandhanam jatam” (Satu belenggu telah terlahir, satu
ikatan telah terlahir). Karena itulah maka bayi
yang baru lahir itu diberi nama Rahula. Kelahiran
Rahula disambut dengan pesta besar yang meriah.
Namun saat itu Pangeran Siddhattha telah bertekad
untuk meninggalkan istana untuk mencari jalan untuk membebaskan
manusia dari usia tua, sakit dan kematian.
Sesaat
sebelum meninggalkan istana, Pangeran Siddhattha pergi
ke kamar Puteri Yasodhara untuk melihat isteri dan anaknya.
Isterinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya.
Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi
tidak dapat terlihat. Pangeran semula ingin menggeser
tangan isterinya untuk dapat melihat muka puteranya
itu, tetapi hal ini diurungkan karena takut hal itu
menyebabkan Puteri Yasodhara terbangun dan rencananya
untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran berkata dalam
hati, “Biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku,
tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari aku
akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat
wajah anak dan isteriku”. Setelah itu Pangeran
Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggang
kuda Kanthaka diikuti oleh kusirnya, Channa, untuk
berkelana mencari jalan kebahagiaan bagi umat
manusia.
Kepergian Pangeran Sidhattha memberikan kesedihan yang
mendalam bagi ayahnya, Raja Suddhodana terlebih pula
isterinya, Puteri Yasodhara. Rahula yang kehilangan
ayahnya diasuh dan dididik dengan penuh kasih
sayang dan tumbuh menjadi anak yang pandai dan baik
budi. Puteri Yasodhara sendiri ketika mendengar bahwa
Pangeran Siddhattha yang telah menjadi petapa memakai jubah
kuning, ia pun memakai jubah kuning, sewaktu mendengar petapa
Siddhattha hanya makan satu kali sehari, ia pun
makan hanya satu kali sehari. Demikian pula
mengikuti kehidupan petapa Siddhattha, Puteri
Yasodhara tidak lagi tidur di dipan yang tinggi dan mewah,
tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian.
Setelah
ditahbiskan oleh YA Sariputta, Rahula kini harus mengikuti
peraturan yang berlaku. Sebagai anak Rahula tidak dapat
memanggil ayah atau selalu berdekatan dengan Sang
Buddha. Ini mungkin merupakan kesedihan baginya
karena ia tidak dapat memperlakukan ayahnya sebagai
seorang ayah sehingga mendorongnya untuk melakukan
kenakalan-kenakalan kecil. Contohnya, suatu kali ia menunjukkan
arah yang salah kepada umat yang datang ke vihara dan
bertanya di mana dapat bertemu dengan Sang Buddha.
Hal ini terdengar oleh Sang Buddha yang segera menuju
ke kuti Rahula.
Rahula merasa bahagia ketika melihat
ayahnya datang menghampirinya. Sang Buddha lalu
meminta Rahula untuk menyiapkan sebaskom air.
Setelah Rahula membasuh kaki Sang Buddha, Sang Buddha bertanya,
“Rahula, dapatkah kamu minum air ini ?”
Rahula
menjawab, “Tidak, tadi air ini bersih, tetapi sekarang
sesudah dipakai membasuh kaki, air menjadi terlalu kotor untuk
diminum”
Sang Budhha lalu menyuruh Rahula membuang
air itu dan kembali dengan baskom yang sudah kosong.
Lalu Sang Buddha berkata, “Rahula, dapatkah kamu
menaruh makanan ke dalam baskom ini?”
Rahula menjawab, “Tidak saya tidak dapat menaruh makanan di baskom karena bekas tempat air kotor”.
Mendengar
jawaban Rahula Sang Buddha berkata, “Seseorang yang
mengetahui bahwa kebohongan adalah perbuatan buruk, tetapi
berbohong terus menerus dengan menyakiti orang lain adalah
seperti air yang kotor atau sebuah baskom yang sudah
kotor. Kejahatan mulai dengan berbohong, yang akan
mengundang kejahatan lain pada dirinya sendiri. Dan
penderitaan yang disebabkan oleh kebohongan tidak
akan dapat dielakkan oleh si pembuat kebohongan”.
Dengan kata-kata
yang disampaikan oleh Sang Buddha, sejak saat itu
Rahula dengan amat rajin mematuhi semua peraturan Sangha
dan menjadi seorang bhikkhu yang terkemuka dalam melaksanakan
perbuatan baik. Banyak orang memandang Rahula dengan
penuh simpati. Meskipun terlahir dan dididik sebagai
pangeran, Ia dapat melepaskan semua hak-hak
istimewanya dan pada usia demikian muda dapat
menjalani kehidupan suci dengan begitu baik. Namun adapula anggota
sangha yang memperlakukannya dengan tidak ramah dan
beberapa orang bhikkhu iri hati kepadanya. Menerima
perlakuan yang tidak menyenangkan itu merupakan
ujian berat baginya.
Pada suatu ketika, ketika YA Sariputta dan
Rahula sedang berpindapata di Rajagaha, seorang
perusuh melempar pasir ke mangkuk YA Sariputta dan
memukul Rahula. YA Sariputta mengingatkan Rahula, “Rahula,
engkau adalah siswa Sang Buddha. Perlakuan apapun yang kamu
terima, tidak boleh menyebabkan kemarahan masuk ke dalam
hatimu. Kamu harus selalu berbelas kasihan kepada
semua makhluk. Orang yang paling berani, orang yang
mencari penerangan, membuang kesombongan dan
memiliki keteguhan hati untuk mengatasi kemarahan”.
Rahula tersenyum dan terus berjalan sampai menemui sebuah sungai
dan membersihkan kotoran dari tubuhnya.
Rahula tidak
pernah membenci nasihat yang diberikan kepadanya.
Setiap bangun pagi ia mengambil segenggam pasir dan bertekad,
“Semoga hari ini saya mendapat nasihat sebanyak pasir ini”.
Semangatnya dapat terlihat dari kenyataan bahwa ia
melaksanakan latihan-latihan yang sangat sulit dan
keras, dengan cara tidak berbaring melainkan duduk
dalam posisi meditasi untuk tidur selama masa dua
belas tahun.
Pada usia dua puluh tahun, Rahula ditahbiskan menjadi
bhikkhu dengan pembimbing (upajjhaya) YA Sariputta
dan guru penahbisan resmi YA Moggallana. Selama
kurang lebih satu masa latihan musim hujan Rahula
melatih diri dengan sungguh-sungguh. Ketika itu Sang
Buddha yang mengetahui bahwa pikiran Rahula sudah matang,
membawanya ke hutan Andha dan mengajarkan ajaran yang dikenal
sebagai Nasihat Kecil untuk Rahula (Cullarahulovada
Sutta, Majjhima Nikaya) Rahula merasakan kegembiraan
setelah mendengar sabda Sang Buddha dan hatinya
terbebas dari kekotoran batin (asava) dan beliau
mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu Arahat.
Pada suatu kali
delapan tahun setelah mencapai tingkat Arahat,
terdapat para bhikkhu yang datang memakai tempat tidur YA Rahula.
Karena tidak menemukan tempat untuk beristirahat, YA
Rahula tidur di ruang terbuka di depan tempat Sang
Buddha. YA Rahula mencapai Parinibbana (wafat)
setelah wafatnya Sang Buddha, diperkirakan pada usia
lima puluh tahun. Dibangun sebuah stupa untuk menyimpan
peninggalan beliau.
No comments:
Post a Comment