“Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih, yang bukan merupakan seorang bijaksana mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan seorang berkuasa dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.
Ia menganggap perasaan sebagai diri …
persepsi sebagai diri …
bentukan-bentukan kehendak sebagai diri …
kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran.
“Demikianlah cara menganggap segala sesuatu dan [gagasan] ‘aku’ ini belum lenyap dalam dirinya.61
Karena ‘aku’ belum lenyap, di sana terjadi suatu turunan dari lima indria – indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, indria badan.62
Ada, para bhikkhu, pikiran, ada fenomena-fenomena pikiran, ada unsur kebodohan.
Ketika kaum duniawi yang tidak terlatih terkontak dengan perasaan yang muncul dari kontak-kebodohan,
‘aku’ muncul padanya; ‘aku adalah ini’ muncul padanya;
‘aku akan menjadi’ dan ‘aku tidak akan menjadi’ dan
‘aku terdiri dari bentuk’ dan ‘aku akan menjadi tanpa-bentuk’ dan
‘aku akan menjadi makhluk yang berkesadaran’ dan ‘aku akan menjadi makhluk yang tidak berkesadaran’ dan
‘aku tidak akan menjadi makhluk yang berkesadaran atau tidak berkesadaran’ – hal-hal ini muncul padanya.63 [47]
“Lima indria itu tetap ada di sana, para bhikkhu, namun sehubungan dengan lima indria itu, siswa mulia yang terlatih meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati. Dengan meluruhnya kebodohan dan munculnya pengetahuan sejati,
‘aku’ tidak muncul padanya; ‘aku adalah ini’ tidak muncul padanya;
‘aku akan menjadi’ dan ‘aku tidak akan menjadi’ dan
‘aku terdiri dari bentuk’ dan ‘aku akan menjadi tanpa-bentuk’ dan
‘aku akan menjadi makhluk yang berkesadaran’ dan ‘aku akan menjadi makhluk yang tidak berkesadaran’ dan
‘aku tidak akan menjadi makhluk yang berkesadaran atau tidak berkesadaran’ – hal-hal ini tidak muncul padanya.”
Catatan Kaki:
61. Saya bersama dengan Be dan Se membaca: asmī ti c’ assa avigataṃhoti. Ee, dan banyak mss, membaca adhigataṃ untuk avigataṃ. Bahwa yang terakhir pasti benar dibuktikan oleh AN III 292, 16-17, di mana penegasan muncul, asmī ti kho me vigataṃ. Argumentasi yang sama ini berlaku pada tulisan dalam 22:89 di bawah (III 128, 34 foll.), terlepas dari kelaziman kata adhgataṃ di sana.
Spk menjelaskan “cara ini dalam menganggap segala sesuatu” sebagai menganggap dengan pandangan-pandangan (diṭṭhisamanupassanā), dan “gagasan ‘aku’” sebagai “tiga pengembangan” (papañcattaya) keinginan, keangkuhan dan pandangan-pandangan. Keduanya berbeda dalam hal bahwa “menganggap” adalah pandangan yang diformulasikan oleh konsep, sedangkan gagasan “aku” adalah manifestasi kebodohan yang lebih halus sehubungan dengan keinginan dan keangkuhan; baca pembahasan penting pada 22:89. Pandangan diri dilenyapkan melalui jalan Memasuki-arus; gagasan “aku” dilenyapkan sepenuhnya hanya melalui jalan Kearahatan.
62. Saya mengartikan kalimat singkat ini sebagai menggambarkan proses kelahiran kembali yang bergantung pada kelangsungan khayalan diri personal. Di tempat lain “turunan” (avakkanti) – dari kesadaran, atau nama-dan-bentuk – menunjukkan permulaan kehidupan baru (seperti pada 12:39, 58, 59). Spk: Ketika ada kelompok kekotoran ini, maka ada produksi lima indria yang dikondisikan oleh kekotoran dan kamma.
63. Saya menerjemahkan keseluruhan paragraf ini sebagai demonstrasi mengenai bagaimana tahap kehidupan yang aktif secara kamma bermula melalui pengulangan pemikiran dalam hal gagasan “aku” dan pandangan spekulatif akan diri. Spk mengidentifikasikan “pikiran” (mano) dengan pikiran-kamma (kammamano) dan “fenomena pikiran” (dhammā) dengan objeknya, atau yang pertama sebagai bhavaṅga dan kesadaran yang mengarahkan. Kontak-kebodohan (avijjāsamphassa) adalah kontak yang berhubungan dengan kebodohan (avijjāsampayuttaphassa).
Kebodohan adalah kondisi yang paling fundamental yang mendasari proses ini, dan ketika diaktifkan oleh perasaan akan memunculkan gagasan “aku” (suatu manifestasi keinginan dan keangkuhan). Gagasan “aku adalah ini” muncul berikutnya, ketika “aku” yang kosong isi oleh makhluk yang diidentifikasikan dengan satu atau lain dari lima kelompok unsur kehidupan. Akhirnya, pandangan eternalis atau nihilis penuh berasal-mula ketika diri yang dibayangkan digenggam apakah untuk bertahan dari kematian atau untuk mengalami kehancuran pada saat kematian. Paragraf ini memberikan kepada kita suatu versi alternatif dari sebab-akibat yang saling bergantungan, di mana “cara menganggap segala sesuatu” dan gagasan “aku” berada pada sisi penyebab aktif dari kehidupan lampau; kelima indria hingga sisi akibat dari kehidupan sekarang; dan pengulangan gagasan “aku” pada sisi penyebab pada kehidupan sekarang. Pada gilirannya ini akan menghasilkan kehidupan baru di masa depan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Papañca - Āsava
Di dalam Sutta ini, Buddha berkata karena kita menganggap lima kelompok sebagai ‘diri’, atau sebagai milik dari ‘diri’ dst, secara langsung muncul pandangan ‘aku’ atau ‘aku berada’.
Ketika anda mempunyai pandangan ‘aku’ atau ‘aku berada’, maka muncullah banyak pandangan lainnya. Buddha berkata itu adalah perkembangan pandangan (papañca).
... Perkembangan pandangan disebabkan oleh pengaliran mental yang tidak terkendali (āsava).
Ketika mereka mulai mengalir, mereka menyebabkan kekotoran batin dan penderitaan. Kita harus melihat dengan jelas pikiran kita sebagai mana adanya … hanya pikiran, khayalan dan kadang kala lamunan.
Source:
- SN 3 Khandha Vagga: 22. Khandhasaṃyutta, 47. (5) Cara-cara Menganggap Segala Sesuatu
- Segenggam Daun Bodhi hlm. 165 (Lima Penghalusinasi) - Bhikkhu Dhammavuḍḍho Mahā Thera
No comments:
Post a Comment