.

.

Pages

Tuesday, November 22, 2011

Meditasi Lebih Ampuh Kurangi Rasa Sakit Dibanding Obat

Selama ini meditasi diketahui dapat membuat orang menjadi lebih tenang. Tapi ternyata meditasi juga dapat membantu menghilangkan rasa sakit yang lebih ampuh dibanding obat.

Para peneliti telah menemukan hanya melakukan satu jam latihan meditasi bisa mengurangi rasa sakit dan memiliki efek yang jangka panjang. Teknik ini bekerja dengan menenangkan rasa sakit di area otak.

“Ini adalah studi pertama yang menunjukkan bahwa meditasi selama 1 jam secara dramatis bisa mengurangi rasa sakit dan menenangkan aktivasi otak yang terkait dengan nyeri,” ujar Dr Fadel Zeidan dari Wake Forest Baptist Medical Center di Carolina Utara, seperti dikutip dari Telegraph, Rabu (6/4/2011).

Untuk studi ini para partisipan mempelajari teknik meditasi yang dikenal dengan focused attention, yaitu bentuk meditasi kesadaran yang mana seseorang diajarkan untuk berkonsentrasi pada pernapasan dan melepaskan pikiran yang mengganggu serta emosi.

Lalu di kaki kanan partisipan diletakkan perangkat yang bisa memicu rasa sakit. Aktivitas otak dari partisipan diuji dengan menggunakan ASL MRI (arterial spin labelling magnetic resonance imaging) sebelum dan sesudah meditasi.

Dr Zeidan menuturkan scan yang dilakukan setelah meditasi menujukkan adanya penurunan rasa nyeri yang berkisar antara 11-93 persen. Pada saat yang sama meditasi secara signifikan mengurangi aktivitas otak di primary somatosensory cortex, yaitu area krusial yang terlibat dalam menciptakan rasa dan terkait dengan stimulus menyakitkan.

“Kami menemukan efek yang besar yaitu sekitar 40 persen pengurangan intensitas nyeri dan 57 persen mengurangi rasa nyeri yang tidak menyenangkan. Hasil ini menunjukkan meditasi bisa mengurangi rasa sakit yang lebih besar daripada morfin atau obat penghilang rasa sakit,” ujar Dr Zeidan.

Dr Zeidan percaya bahwa meditasi memiliki potensi besar untuk digunakan secara klinis, karena dengan latihan kecil bisa memberikan efek yang dramatis dan efektif mengurangi rasa sakit tanpa menggunakan obat.

Sunday, November 13, 2011

Gay Dalam Pandangan Buddhist

Oleh karena homoseksual tidaklah secara eksplisit dibicarakan dalam khotbah Buddha, kita hanya bisa mengasumsikan bahwa masalah ini juga bisa dievaluasi dengan cara yang sebagaimana adanya heteroseksual. Dan sesungguhnya atas dasar inilah, homoseksual tidak secara khusus dikupas. Dalam kehidupan umat awam antara pria dan wanita, dimana ada kesepakatan bersama, dimana tidak ada perbuatan penyelewengan, dan di mana hubungan seksual adalah ungkapan rasa cinta, hormat, kesetiaan, dan kehangatan, ini semua tidaklah melanggar sila ke-3.

Homoseksualitas sudah dikenal di zaman India kuno; masalah ini secara eksplisit. Disinggung dan dilarang di dalam Vinaya. Akan tetapi, tidak dituding secara khusus, melainkan disebutkan di antara banyak jenis perilaku penyimpangan seksual lain yang bertentangan dengan keharusan hidup seharusan hidup selibat seorang biarawan/wati. Hubungan seksual, apakah dengan pasangan sejenis atau lawan jenis, di mana organ seks memasuki vagina, mulut, atau anus, adalah tindakan yang bisa mengakibatkan dikeluarkannya seseorang dari Sangha. Tindakan seksual lainnya seperti saling masturbasi, walaupun bukan dianggap sebagai pelanggaran berat dan tidak mengakibatkan dikeluarnnya dari sangha, tetapi harus diakui di depan anggota sangha.

Tipe orang yang disebut dengan “pandaka" seringkali disinggung dalam Vinaya untuk menggambarkan seseorang yang berperilaku seksual tidak tepat. Vinaya juga menetapkan bahwa para pandaka tidak diperbolehkan untuk ditahbiskan, dan apabila secara tidak disengaja telah ditahbiskan, orang tersebut akan dikeluarkan dari sangha. Menurut penjelasan kitab, hal ini disebabkan para pandaka tersebut ‘penuh dengan nafsu, haus akan birahi, dan didominasi oleh keinginan seksual?. Kata “pandaka"? diterjemahkan sebagai banci atau kaum homoseksual yang berperilaku seperti layaknya perempuan. Oleh karena Buddha mempunyai pemahaman yang mendalam akan sifat manusia, dan sungguh-sungguh bebas dari segala pasangka, dan karena tidak ada bukti bahwa kaum homoseksual mempunyai tingkat birahi yang lebih tinggi atau lebih sulit mempertahankan hidup sebagai biarawan/wati. Oleh karenanya, istilah “pandaka"? kemungkinan besar tidak mengacu kepada homoseksual secara umum, melainkan segelintir kaum homoseksual yang feminis, yang secara terang-terangan berpenampilan seperti wanita di depan umum.

Kajian tentang homoseksualitas

Oleh karena homoseksual tidaklah secara eksolisit dibicarakan dalam khotbah Buddha, kita hanya bisa mengasumsikan bahwa masalah ini juga bisa dievaluasi dengan cara yang sama sebagaimana adanya heteroseksual. Dan sesungguhnya atas dasar inilah, homoseksual tidak secara khusus dikupas. Dalam kehidupan umat awam antara pria dan wanita, di mana ada kesepakatan bersama, dimana tidak ada perbuatan penyelewengan, di mana hubungann seksual adalah ungkapan rasa cinta hormat, kesetiaan dan kehangatan, ini semua tidaklah melanggar sila ke-3. Dan sama pula halnya apabila kedua orang tersebut berjenis kelamin sama. Tindakan seperti penyelewengan dan pengabaian perasaan pasangan kita akan menjadikan suatu perbuatan seksual tidak tepat, baik itu homoseksual ataupun heteroseksual. Semua prinsip yang kita gunakan untuk mengevaluasi hubungan heteroseksual akan kita gunakan pula untuk mengevaluasi hubungan homoseksual.

Di dalam agama Buddha, bisa kita katakan bahwa bukanlah objek dari nafsu seksual seseorang yang menentukan apakah suatu hubungan seksual seseorang yang baik atau tidak, melainkan sifat dari emosi dan maksud yang melandasinya.Walaupun demikian, Buddha kadangkala menganjurkan untuk menghindari perilaku tertentu, bukan karena hal ini salah dari sudut pandang etika melainkan akan menjadi seseorang aneh di dalam lingkungan sosial, atau karena akan mengakibatkan sanksi akibat pelanggaran hukum yang berlaku. Dalam hal-hal seperti ini, Buddha berkata bahwa menjauhkan diri dari perilaku seperti itu akan membebaskan seseorang dari kecemasan dan rasa malu yang disebabkan oleh ketidaksetujuan sosial atau ketakutan akan sanksi hukum. Homoseksualitas tentu saja akan masuk dalam kategori perbuatan ini. Dalam hal ini, seorang homoseksual haruslah memutuskan apakah ia akan mengikuti arus harapan masyarakat umum atau mencoba mengubah sikap publik.

Pandangan yang menolak homoseksualitas

Sekarang kita akan secara ringkas menelaah berbagai penolakan terhadap homoseksualitas dan memberikan pandangan penolakan dari sisi ajaran Buddha. Penolakan yang paling umum di dalam masyarakat adalah karena homoseksualitas tidaklah alami dan melanggar hukum alam. Tampaknya sedikit sekali landasan bagi pendapat seperti ini. Miriam Rothschild, seorang ahli biologi ternama, telah menunjukkan bahwa perilaku homoseksualitas juga telah ditemukan dalam hampir semua jenis spesies hewan. Kedua, walaupun bisa disanggah bahwa fungsi biologis dari seks adalah reproduksi, kebanyakan hubungan seksual dewasa ini bukanlah untuk tujuan reproduksi, melainkan sebagai hiburan dan pemuasan emosi, dan bahwa ini juga merupakan fungsi sah dari hubungan seksual. Dengan demikian, walaupun hubungan homoseksual tidaklah alami dalam arti tidak bisa menghasilkan fungsi reproduksi, hubungan ini adalah alami karena bisa memberikan pemuasan fisik dan emosi bagi pelakunya.

Kita seringkali mendengar, “Jika homoseksual bukanlah illegal, akan banyak orang, termasuk kaum muda, akan menjadi gay? Pernyataan seperti ini menggambarkan kesalahpahaman yang serius terhadap homoseksualitas, atau mungkin suatu potensi homoseksualitas dalam diri orang yang membuat pernyataan tersebut. Hal ini sama bodohnya dengan mengatakan bahwa apabila bunuh diri bukanlah perbuatan yang melanggar hukum, semua orang akan melakukannya. Apapun penyebab homoseksualitas (akan banyak sekali perdebatan tentang masalah ini), seseorang pastilah tidak akan “memilih"? untuk menjadi orientasi seks sesama jenis, seperti layaknya memilih minum teh atau kopi. Orientasi ini adalah hasil bawaan lahir atau berkembang sejak dini dalam diri seseorang, sama halnya dengan heteroseksualitas. Mengubah hukum yang berlaku tidaklah bisa mengubah orientasi seksual seseorang.

Beberapa orang berpendapat bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam diri seorang homoseksual karena begitu banyaknya kaum homoseksual yang jiwa atau emosinya yang terganggu. Sekilas, tampak ada benarnya pernyataan ini. Di barat, setidak-tidaknya banyak kaum homoseksual yang menderita masalah kejiwaan, kecanduan alkohol, dan menujukkan perilaku seksual yang sangat menggoda. Dalam pengelompokan data, kaum homoseksual menduduki peringkat tertinggi dalam kasus bunuh diri. Kemungkinan sekali bahwa kaum homoseksual lebih menderita akibat perlakuan sosial masyarakat terhadap mereka atas dasar orientasi seksual mereka, dan apabila mereka akan menunjukkan gejala yang sama pula. Sesungguhnya, inilah yang menjadi argumen terkuat untuk menerima dan memahami homoseksualitas.

Walaupun di negara-negara yang banyak penganut agama Buddha, homoseksual tidak ditentang secara nyata-nyata dalam hukum yang berlaku, bukanlah berarti homoseksualitas bisa diterima di negara-negara tersebut. Hal ini lebih disebabkan karena pengaruh agama Buddha yang berlandaskan manusiawi dan penuh toleransi. Walaupun demikian, seringkali ditemui adanya prasangka dan diskriminasi terhadap kaum homoseksual di negara-negara tersebut. Sekali lagi perlu dijelaskan bahwa tidak ada bagian dalam agama Buddha yang membenarkan adanya kutukan, hukuman, maupun penolakan terhadap kaum homoseksual atau perilaku homoseksual.

Tidak seperti Agama lainnya yang kebanyakan mengutuk homoseksual (yang dapat dilihat dalam Kitab Suci mereka), Agama Buddha tidak pernah mengutuk homoseksual atau siapapun dan itu dapat dibuktikan bahwa segala jenis pengutukan tidak pernah terjadi dalam perkembangan Agama Buddha sehingga tidak pernah tercatat dalam Kitab Suci Agama Buddha Tipitaka.

Alasan yang kuat untuk itu adalah bahwa Agama Buddha berlandaskan pada Kasih Sayang dan Kebijaksanaan. Dan selama lebih dari 2500 tahun perkembangan Agama Buddha selalu dilandasi oleh Kasih Sayang dan Kebijaksanaan sehingga tidak pernah terjadi paksaan atau pertumpahan darah atas nama Agama Buddha.

Siapa saja, termasuk Anda kaum Gay dan Lebsian berhak untuk menjadi umat Buddha karena Sang Buddha menawarkan Jalan Pembebasan bagi siapa saja termasuk Anda. Bahkan Sang Buddha selaku pendiri Agama Buddha pernah menerima pelacur menjadi murid, jadi tidak ada alasan bagi pihak-pihak tertentu mengatakan bahwa Homoseksual tidak boleh menjadi umat Buddha.

Setelah menjadi umat Buddha, seharusnya Anda mempelajari Dhamma ajaran Sang Buddha demi kebahagiaan Anda sendiri, mungkin juga untuk Pasangan serta keluarga Anda bila ada.

Hanya dengan mengaku umat Buddha tetapi tidak pernah mempelajari dan menjalankan Dhamma tidak mungkin bisa memperoleh kebahagiaan.

Idealnya, setelah menjadi umat Buddha, Anda harus menjalankan Pancasila Buddhis (Lima Sila) yang berisi:
1. Saya berusaha untuk menghindari pembunuhan.
2. Saya berusaha untuk menghindari pencurian
3. Saya berusaha untuk menghindari perjinahan
4. Saya berusaha untuk menghindari kata-kata bohong.
5. Saya berusaha untuk menghindari mabuk-mabukan.

Dengan mengamalkan sila 1 dan 2, tentunya Anda tidak dihantui ketakutan untuk ditangkap karena kejahatan yang dilakukan. Ini akan membuat kehidupan Anda menjadi lebih bernilai karena bebas dari segala perasaan bersalah yang akan menjadi beban mental bagi mereka yang melakukannya. Selain itu, kehadiran Anda akan selalu disambut gembira oleh siapapun dan dimanapun Anda berkunjung.

Sila 3, merupakan hal yang penting sebagaimana yang sudah dibahas dalam "Gay & Pancasila Buddhis". Sila ketiga meminta kita untuk tidak merusak hubungan orang lain yang telah terbina, dengan demikian diharapkan jasa kebajikan dari pelaksaan Sila ini dapat membuahkan keharmonisan hubungan anda & pasangan. Anda tidak merusak hubungan orang lain, orang lain juga tidak akan menggangu hubungan anda dan pasangan anda. Ini merupakan suatu hukum timbal balik yang sangat logika.

Selain itu, Anda selaku umat Buddha harus menghindari hubungan badan dengan tunangan atau pasangan orang lain serta tidak boleh melakukan hubungan badan dengan anak-anak yang masih berada dibawah pengawasan orang dewasa, orang hukuman, ataupun orang yang sedang menjalankan sila (Samenera, Bhikkhu dan Bhiksuni).

Sila keempat, walaupun kelihatan gampang tetapi sulit untuk dilakukan. Apabila anda dapat menjalankan sila keempat ini dengan baik, maka pasangan anda tentu akan percaya dengan apa yang anda lakukan sehingga hubungan diantara anda berdua akan berjalan dengan lebih baik lagi. Tidak ada pikiran yang saling mencurigai. Sedangkan dari masyarakat umum, anda akan mendapatkan kepercayaan baik dalam bekerja, berdagang, maupun berteman.

Untuk sila kelima, ini berfungsi untuk menjaga agar anda tetap dalam keadaan sadar karena dalam kesadaran yang lemah anda dapat melakukan hal-hal yang merugikan anda, merugikan pasangan ataupun masyarakat. Mengkonsumsi makanan atau minuman yang mendatangkan ketagihan tidak mempunyai dampak positif sama sekali. Mengkonsumsi barang-barang seperti ini tidak akan pernah membantu anda memecahkan masalah, ini hanya merupakan pelarian dimana setelah efek dari obat-obatan terlarang ini habis maka anda tetap harus menghadapi masalah atau persoalan tadi.

Menghindari konsumsi makanan dan minuman yang mendatangkan ketagihan serta melemahkan kesadaran menjauhkan anda dari masalah-masalah yang tidak perlu. Misalnya bersetubuh dengan orang lain yang tidak seharusnya, memaksakan kehendak pada pasangan orang lain dan masih banyak lagi hal yang dapat timbul.

Apabila anda dan pasangan bersama-sama menjalankan Pancasila Buddhis, maka anda berdua akan lebih yakin dalam membina hubungan ini. Sama-sama bebas dari pengejaran pihak berwenang/hukum, sama-sama jujur dan tidak berbohong sehingga tidak saling mencurigai, sama-sama tidak melakukan perbuatan asusila, dan sama-sama selalu sadar sehingga keuangan juga terjamin.

Sedangkan untuk diterima menjadi anggota Sangha (Bhikkhu/ni atau Ulama Buddhis), seseorang harus meninggalkan kehidupan seksualnya baik itu Homoseksual ataupun Heteroseksual. Dengan kata lain, seorang anggota Sangha harus menjadi Aseksual sehingga sebelum seorang Gay atau Lesbian dapat mengambil sumpah untuk menjalankan kehidupan suci, maka mereka harus meninggalkan kebiasaan seksual mereka.

Akan tetapi perlu diingat bahwa Agama Buddha juga tidak mendukung atau menggalakkan seseorang menjadi Gay atau Lesbian. Kata-kata yang lebih tepat adalah Agama Buddha menerima siapa saja dalam kondisi alami mereka untuk mengapai kebahagiaan, karena semua orang berhak untuk memperoleh kebahagiaan dan perlu dicantumkan bahwa siapapun anda, semuanya memiliki benih keBuddhaan didalam diri anda. Anda tidak perlu mencari kebahagiaan, atau mencariNya diluar diri Anda

Thursday, November 10, 2011

Kanker Itu Lenyap Berkat Meditasi

Bagi kalangan umat Buddha di Bali, nama Ibu Erlina Kang Adiguna tentunya tidak asing lagi. Di samping aktif melakukan berbagai kegiatan di Vihara Buddha Sakyamuni, beliau juga sibuk mengelola usaha garmennya, “Mama & Leon”. Kesuksesan beliau dalam dunia usaha bukan muncul begitu saja, tapi berkat usahanya yang gigih dan pantang menyerah.

Ibu Erlina dilahirkan dalam sebuah keluarga yang cukup mampu di Baturiti, Bedugul,Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali. Sekarang beliau hidup bahagia bersama suami dan kelima anak, tiga putera dan tiga puterinya. Beliau pernah menderita sakit kanker yang sudah cukup parah dan harus dioperasi, tetapi dengan keyakinannya yang amat besar terhadap Sang Tri Ratna dan tekadnya yang kuat untuk menjadi abdi siswa Sang Bhagava, serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha dengan sungguh-sungguh beliau dinyatakan sembuh tanpa melalui operasi.

Inilah kisah sejati beliau yang berjuang dengan gigih untuk mengatasi sakit kanker yang dideritanya.

Awal Mulanya

Pada suatu hari di akhir tahun 1992, saya mendadak mengalami perdarahan yang serius, padahal saya telah menopause sejak dari tahun 1984. Setelah saya periksakan ke dokter di Bali, dokter itu mengatakan ada gejala benjolan di rahim saya, setelah beberapa kali saya berobat ke rumah sakit, saya kemudian tidak memperhatikannya dengan serius.

Pada tahun 1993 saya kembali mengalami sakit perut di sebelah kiri, yang terasa sakit apabila saya jongkok dan sulit untuk berdiri kembali. Akhirnya saya berangkat ke Singapura, bertemu dengan Dokter Wong, di salah satu rumah sakit di sana. Ternyata setelah diperiksa dokter mengatakan saya menderita kanker rahim, hampir stadium tiga. Saya sangat kaget, dokter lalu menganjurkan beberapa saran pengobatan, karena benjolan yang saya derita cukup besar: Sampai pada pemeriksaan yang ketiga kalinya saat saya berobat ke Singapura, Dokter Wong tetap menganjurkan saya untuk segera dioperasi saja.

Akhirnya saya nekat memutuskan untuk tidak mau dioperasi, saya pulang ke Indonesia, dan saya ingin tahu bagaimana risiko kalau orang yang kena kanker itu dikemoterapi. Saya mengunjungi Rumah Sakit Kanker di Jakarta, tidak terbayangkan bahwa penyakit yang saya derita itu sangat mengerikan, setelah saya melihat kenyataan ini, saya memutuskan untuk tidak dioperasi, tidak dikemoterapi, juga tidak makan obat. Saya siap menghadapi kenyataan ini.

Karena pada masa-masa tahun 1994 itu saya banyak sekali memiliki kegiatan dalam pengembangan Dhamma, saya melupakan sakit saya dan tidak henti-hentinya saya melakukan kebajikan dan belajar meditasi, serta mempelajari Dhamma, Ajaran Sang Buddha secara lebih mendalam, untuk menguatkan keyakinan saya bahwa Sang Tri Ratna pasti akan memberikan jalan yang terbaik bagi saya karena saya tidak percaya bisa terkena penyakit kanker, karena dalam keturunan keluarga saya tidak ada yang sakit kanker.

Pada suatu hari saya mendapat telpon dari Dokter Wong, yang mengharuskan saya untuk segera dioperasi, namun saya sudah memutuskan untuk berjuang dengan cara saya sendiri. Sakit saya semakin hari semakin bertambah, muka saya semakin pucat, perut saya semakin kaku, keluarga saya tidak tahu sama sekali, termasuk suami saya.

Kesembuhan

Pada suatu hari saya memutuskan akan bermeditasi secara kontinyu, terus-menerus selama 40 hari, setiap pagi dan sore hari. Saya tidak tahu mengapa saya mempunyai keputusan untuk bermeditasi selama 40 hari. Setiap hari saya membacakan Paritta lengkap mulai dari Namakara Gatha, Karaniya Metta Sutta, Saccakiriya Gatha dan seterusnya sampai diakhiri dengan Ettavatta. Setelah selesai membacakan Paritta Suci, saya selalu meminum tiga cangkir air yang saya persembahkan di Altar. Saya selalu berdoa,mengucapkan kata-kata yang sama, memohon untuk diberkahi jalan yang terbaik, mengucapkan janji dan tekad saya. Dan pada saat saya meminum air, saya selalu berdoa seperti ini:

1. Pertama-tama saya ambil cangkir yang di tengah, saya berdoa di hadapan Sang Bhagava, kalau memang saya harus menghadapi kematian, saya mohon Sang Bhagava memberikan jalan yang terbaik.
2. Lalu saya ambil cangkir air yang di sebelah kiri, saya berdoa; Sang Bhagava kalau saya diberi kesempatan untuk tetap hidup, saya akan bersungguh-sungguh mendalami dan menjalankan Dhamma, Ajaran Sang Bhagava dengan baik.
3. Yang terakhir, saya mengambil cangkir yang di sebelah kanan, saya berdoa; Sang Bhagava kalau saya kini diberi kesempatan untuk tetap hidup, saya akan mengabdi menjadi siswa Sang Bhagava.

Setiap hari dengan tekun saya membaca Paritta Suci, bermeditasi dan berdoa dengan sungguh-sungguh.

Hingga pada hari yang ke-35, biasanya saya dari duduk untuk berdiri saja sulit, saya harus memegangi perut di sebelah kiri, baru saya bisa berdiri. Tetapi pada hari itu, pada saat bermeditasi saya mendengar sepertinya ada orang yang masuk ke dalam ruangan saya bermeditasi, seperti ada suara injakan kakinya yang sangat keras, dan sepertinya duduk di sebelah saya, suara nafasnya keras sekali, saya benar-benar takut tetapi saya tidak berani membuka mata, saya takut kalau saya sampai melihat orang itu. Beberapa menit kemudian saya mendengar orang itu meninggalkan tempat dan perlahan-lahan saya membuka mata, ternyata orang itu sudah tidak ada lagi. Saya lupa bagaimana caranya saya berdiri pada saat itu, saya lalu ke dapur dan setelah minum saya baru sadar bagaimana ya caranya saya bangun. Saya mencoba kembali duduk dan bangun kembali, saya bisa melakukannya, rasa sakit itu hilang. Saya terus melakukan meditasi selama 40 hari, di dalam hati saya berjanji akan melakukan kebajikan terus menerus dan saya selalu merasa berbahagia, dan saya tidak tahu mengapa, apa saya sudah lupa bahwa saya akan mati.

Sejak hari ke-35 itu, saya selalu bermimpi yang aneh-aneh, tetapi di dalam mimpi saya selalu berhubungan dengan para Bhikku. Di dalam mimpi itu saya naik gunung, sampai di puncak gunung saya terperosok masuk lumpur, dan saya mengucapkan “Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa” ke hadapan Sang Bhagava, dan di bawah gunung, puluhan para Bhikkhu memanggil-manggil nama saya, mendadak ada air bah yang mendorong saya sehingga saya sampai di bawah, saya diberi bungkusan oleh salah seorang Bhikkhu.

Banyak teman-teman saya selalu memimpikan saya selalu bersama para Dewa, dan keajaiban terakhir yang saya dapatkan adalah telepon dari Dokter Wong yang menanyakan keadaan saya, dokter itu menyarankan agar saya mengambil keputusan untuk dioperasi, tetapi rasa sakit di perut saya sudah berkurang, akhirnya saya putuskan untuk memeriksakan kembali penyakit saya di Singapura.

Pada tanggal 20 Februari 1995 saya berangkat bersama suami saya menuju Singapura. Namun ada satu keanehan, sejak saya berangkat ke Airport, saya merasa sangat mengantuk, begitu naik pesawat terbang saya minta kepada suami saya untuk jangan membangunkan pada saat dibagikan makanan. Begitu tidur, saya bermimpi dari Bali ke Singapura saya berjalan di atas lautan, dan di pinggir banyak sekali para Bhikkhu yang berdiri di atas lautan. Begitu mendarat di Singapura, saya dibangunkan dan saya bertanya, saya jalan apa naik pesawat, suami saya menjawab sedikit sewot, tentu saja naik pesawat masak jalan kaki katanya. Tetapi pada sore hari itu saya memutuskan, untuk bertemu dokter esok hari saja.

Pada pagi hari tanggal 22 Februari 1995 saya diperiksa oleh dokter, berkali-kali saya disuruh minum air dan diperiksa berkali-kali, sepertinya dokter itu bingung, komputernya dicek, diperiksa kalau-kalau rusak. Lalu dilihat lagi hasil-hasil pemeriksaan yang dulu; saya diperiksa lagi, kemudian saya dikirim ke Rumah Sakit lain untuk diperiksa lagi oleh satu tim dokter yang terdiri dari 5 orang dokter ahli, memeriksa saya berulang kali, sampai saya teler, kecapaian diperiksa bolak-balik, setelah itu dokter menyatakan sakit kanker saya tidak bisa ditemukan, hanya ada tanda seperti petikan buah anggur. Saya dikembalikan lagi ke Dokter Wong, beliau tidak memeriksa lagi hanya bertanya, agama saya apa, saya bengong, beliau hanya mengucapkan Amitabha dan menyuruh saya berdoa ke Vihara. Saya terkejut dan sungguh bahagia, saya bisa sembuh dari penyakit kanker, tanpa melalui operasi.

Inilah berkah Sang Buddha yang demikian besar kepada saya, sehingga saya benar-benar percaya bahwa karma itu bisa dirubah dengan cara melaksanakan Ajaran Sang Buddha dengan sungguh-sungguh.

Karena itu tumbuhkanlah keyakinan yang kuat kepada Sang Tri Ratna, menjadi siswa Sang Buddha yang baik, melaksanakan Ajaran Sang Buddha dengan sungguh-sungguh, perbanyaklah perbuatan bajik, sucikanlah pikiran.

Saya telah berusaha menjalankan segala kebajikan, dengan materi yang saya miliki, saya pergunakan sebaik-baiknya di dunia ini, agar ada kenangan yang berarti untuk menuju kehidupan yang akan datang.

Semoga pengalaman saya ini menjadi kesaksian nyata untuk dijadikan cermin bagi saudara-saudara se-Dhamma, di dalam memperoleh kebahagiaan dengan melaksanakan Ajaran Sang Guru Agung kita, Sang Buddha Yang Maha Sempurna. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata.

Semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu…sadhu…sadhu.

Erlina Kang Adiguna

Denpasar, Bali.

Biodata

Nama : Erlina Kang
Tempat/tanggal lahir : Baturiti, Juli 1944
Alamat : Jln. Gunung Lawu Denpasar
Nama Suami : Putu Adiguna
Nama Anak : Liliek Herawati, Putu Agus Antara, Arief Wijaya, Yuliana Kanaya, Cahyadi Adiguna
Jabatan/kegiatan lainnya :
  1. Penasehat Forum Ibu-ibu Buddhis
  2. Ketua Umum Yayasan Kertha Yadnya
  3. Pelindung di Vihara Buddha Sakyamuni
  4. Ketua Kehormatan di Vihara Buddha Guna Nusa Dua