.

.

Pages

Monday, October 15, 2012

Ketika Marcel dan Dewi Lestari Masuk Buddhisme

Ada apa dengan Marcell dan Dewi Lestari?

Sinar Dharma berusaha bertanya langsung kepada dua sosok yang cukup menyita perhatian kita akhir-akhir ini. Berikut bincang lepas Sinar Dharma dengan Marcell dan Dewi yang berlangsung santai penuh keakraban di kediaman mereka di sebuah apartemen di Jakarta.

Ditemui di lobi apartemen kediamannya, Dewi menyapa ramah kehadiran kami. Kami diajak ke teras sebuah café kecil di sebelah kolam renang di bagian belakang apartemen. Setelah memesan minuman segar buat kami, obrolan santai pun bergulir, walau Marcell masih belum bergabung.

Dewi memulai kisahnya bagaimana pertama kali bersentuhan dengan ajaran Buddha. Apa yang diyakini Dewi saat ini, keseluruhannya bermula dari pikiran yang terbuka serta merupakan proses belajar dan mengalami dalam tiga fase. Fase pertama bermula dari sebuah kejadian pada tahun 1999 ketika ia mengalami sebuah ‘pencerahan’ yang membuatnya melepas label agama yang dianutnya saat itu. Dengan tanpa menggenggam ‘mati’ suatu keyakinan, Dewi memulai pencarian realitas tertinggi, mempelajari berbagai ajaran agama dengan tanpa prejudice, tanpa prasangka, tanpa membandingbandingkan.

Fase ke dua bermula ketika Dewi menulis buku keduanya yang berjudul Akar. Riset yang dilakukannya ketika menulis buku ini semakin membuka cakrawala Dewi terhadap ajaran Buddha. “Ini adalah periode di mana saya jatuh cinta pada Buddhisme,” demikian aku Dewi.

Kelahiran Keenan (anak Marcell dan Dewi) merupakan fase ketiga dari proses pemahaman dan pengalamannya akan Buddhisme. Dewi, - dan Marcell - menyadari bahwa suatu ketika Keenan akan menjadi bagian dari masyarakat dan akan dituntut memiliki identitas agama. “Walau saya sangat nyaman hidup tanpa jubah agama, tapi jika harus memilih ajaran untuk membimbing anak saya, maka ajaran Buddha-lah pilihan saya.”

Pada hakekatnya, apa yang dilakukan Dewi tersebut sesungguhnya dalam ajaran Buddha dikenal sebagai Ehipassiko, yakni mempelajari dan membuktikan sendiri, bukan sekedar mengimani. Sebagaimana ketika Dewi ditanya apa alasan utamanya memilih ajaran Buddha, Dewi berpendapat ajaran Buddha tidak memiliki paradoks-paradoks yang saling bertentangan dan tidak memiliki figur Tuhan yang dapat melakukan penghukuman, yang ada adalah konsekuensi karma yang mana membawa manusia menjadi lebih bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Obrolan dengan Dewi sempat terhenti ketika Marcell dari kejauhan berjalan mendekati kami. Tanpa disangka, Marcell memberi salam khas Buddhis dengan sikap tangan anjali (merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada). Marcell pun segera terlibat dalam wawancara, atau lebih tepat disebut diskusi, yang semakin menghangat.

Menurut Marcell, potensi dirinya untuk bersentuhan dan mengenal ajaran Buddha sudah lama ada, karena sejak kecil dia selalu mempertanyakan banyak hal yang oleh banyak keyakinan dianggap tabu untuk dipertanyakan. “Waktu kecil, sering kali ketika gue bertanya, hal itu dianggap berdosa. Tapi gue punya keyakinan bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara akal pikiran dan hati,” jelas Marcell.

Dewi, bagi Marcell adalah pembuka celah-celah yang mengetahui bahwa apa yang menjadi pertanyaannya sejak kecil dapat dijawab oleh ajaran Buddha. Bahkan Marcell yakin bahwa pada kehidupan yang lalu Dewi adalah pembimbing spiritualnya.

Kala mencari tahu lebih jauh bagaimana menjadi seorang Buddhis, Marcell dan Dewi semakin terkesima ketika mereka mengetahui bahwa menjadi Buddhis tidak mutlak harus menjalani prosesi visudhi tisarana (penahbisan umat). Menjadi Buddhis yang sesungguhnya adalah menjalankan praktik kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, memahami sesuatu itu sebagaimana adanya, bukan sekedar bisa menjalani kebaktian dan ritual lainnya.

Ketika disinggung soal koleksi figur Buddha yang demikian banyak di rumahnya yang ada di Bandung, Dewi bercerita bahwa sejak kecil dirinya sudah demikian tertarik dengan figur-figur Buddha, baik berupa rupang (arca) ataupun lukisan. Setiap kali melihat Buddharupang, ada rasa teduh yang didapatkan dari personifikasi diri Buddha. Lebih jauh lagi, mereka merasakan suasana meditatif yang dapat dihadirkan dengan adanya Buddharupang dalam rumah.

“Tapi bukan berarti kita menyerahkan nyawa kita pada patung-patung tersebut, karena kita bukan menyembah patung-patung tersebut,” jelas Marcell. “Kita tidak menyerahkan diri pada patung Buddha, tapi kita menjadikan figur panutan kita itu untuk mengingatkan kita agar kita tidak salah jalan. Kita tidak menyerahkan diri pada suatu entitas, tapi pencerahan harus dengan usaha sendiri,” lanjutnya memberi pemahaman.

Ketika mengomentari buku Keyakinan Umat Buddha karya Bhikkhu Sri Dhammananda, Marcell dan Dewi sependapat bahwa ajaran Buddha yang diulas dalam buku tersebut sangat konsisten, tidak ada dualitas yang bertentangan satu sama lain. Hal-hal yang semula dikira akan bertele-tele diulas dengan lugas, tegas dan dapat diterima akal sehat. Dari buku ini, mereka berpendapat bahwa ajaran Buddha memiliki lapisan-lapisan yang sangat tipis dan mudah untuk dikupas karena ajaran Buddha bukan ajaran yang dogmatis.

Pemahaman mereka yang cukup dalam terhadap ajaran Buddha terlihat begitu jelas ketika mereka berbicara tentang mukjizat. Banyak orang menjual hal-hal mistis untuk menarik umat, sedangkan ajaran Buddha justru tidak membenarkan hal tersebut karena yang paling penting dalam ajaran Buddha adalah proses. Hal-hal mistik alih-alih membuat orang memahami ajaran secara benar tapi justru hanya memotivasi orang untuk sekedar mendapatkan kekuatan gaib. “Saya yakin Buddha mampu menyeberangi sungai dengan berjalan di atas air, tapi Buddha tidak akan melakukan hal itu,” komentar Marcell. “Kenapa harus repot-repot berlatih bertahun-tahun untuk bisa melakukan itu, padahal dengan membayar perahu kita sudah bisa menyeberang.”

Pemahaman yang dalam akan ajaran Buddha juga terlihat dari pernyataan Dewi bahwa yang menjadi prioritas ke depan adalah belajar dan mempraktikkan meditasi, walau keinginan tersebut masih berbenturan dengan padatnya jadwal kegiatan mereka masing-masing saat ini.

Tanpa terasa satu setengah jam telah berlalu begitu cepat dan Marcell harus bersiap untuk latihan band. Sinar Dharma juga menyadari sudah waktunya untuk mohon diri, akhirnya obrolan hangat yang sangat terbuka ini pun berhenti sampai di sini dulu. Semoga apa yang disampaikan oleh Marcell dan Dewi ini menjadi trigger bagi
banyak orang untuk semakin terbuka mempelajari ajaran kebenaran yang telah disampaikan secara sempurna
oleh Sang Buddha, dan memotivasi umat Buddha untuk mempraktikkan Dharma dengan tekun.

8 comments:

Unknown said...

Agama gonta ganti aja kaya pake baju..
Kmren islam, abis itu kristen, kemudian budha, begitu nikah yg ke 2 balik lagi ke islam.. Gimana itu bs bgitu????
Heran

Unknown said...

Agama gonta ganti aja kaya pake baju..
Kmren islam, abis itu kristen, kemudian budha, begitu nikah yg ke 2 balik lagi ke islam.. Gimana itu bs bgitu????
Heran

Unknown said...

sangat positif, karena budha mengajarkan ketulusan hati dan cinta kasih terhadap sesama dan semua kehidupan yang ada di alam semesta ini.

semangat dan terus semangat

Unknown said...

Jhony cank apakah membasmi muslim rohingya merupakan wujud cinta kasih terhadap sesama..?

yonk2x said...

masak satu biksu gila jadi representasi semua umat Budha? semua agama juga pasti ada beberapa umat yang salah jalan kali Bro... namanya juga miliaran orang, pasti ada yang baik banget dan jahat banget, atau pintar banget dan bodoh banget...

yonk2x said...

namanya orang kan bisa galau... wajar lah gonta2 agama... emang idealnya kita belajar semua agama dulu baru memeluk satu ketika pikiran kita sudah matang... jangan cuma ikutin lingkungan dan orang tua...

Unknown said...

@Aidil Ahmad, anda belum tahu betapa luhurnya agama buddha...anda kebanyakan dijejali doktrin islam radikal...sebenarnya ini tidak berhubungan dengan agama, tapi dibesar-besarkan oleh islam radikal seolah-olah agama Buddha adalah jahat. Saya jelaskan ya...Etnis Rohingya itu adalah pendatang beragama islam yang banyak tinggal di salah satu propinsi negara Myanmar,oleh karena semakin lama semakin banyak, timbul niat dari etnis Rohingya itu untuk mengambil 1 propinsi untuk dijadikan negara yang berdasarkan / berlandaskan islam, mereka ingin kudeta, adakah negara yang mau membiarkan saja atau memberi cuma-cuma, negaranya diambil oleh pendatang ? Tentu saja Negara Myanmar itu akan memperjuangkan mati-matian, tapi itulah liciknya etnis Rohingya, mereka kasih bumbu-bumbu fitnah (paling gampang ya agama) yang menyudutkan negara Myanmar yang sebagian besar mayoritas penduduknya beragama Buddha, seolah-olah jahat, padahal yang jahat tuh mereka...
Aidil, aku tanya diri kamu aja deh....misal, kamu punya tanah 1 hektar, ada yang ingin tinggal disitu, mulanya sewa, misal orang itu udah bertahun-tahun tinggal disitu dan sudah berkembang biak, karena saking banyaknya, mereka mengklaim itu tanah milik mereka...apakah kamu akan memberinya dengan cuma-cuma ? lanjut nih ya...kamu marah dong tanah kamu dikuasai, tapi galakan mereka, kamu difitnah ngga peduli orang, kemudian kamu diperlakukan tidak manusiawi oleh mereka...apa yang kamu lakukan ? Tanahnya mau kamu kasih gratis ? Kalau kata Cak lontong mah "MIKIIIR..."
Jadi jelas ya...
Tolong kasih tahu teman-teman kamu juga yang pandangannya sempit...supaya nggak gampang diprovokasi orang !! Salam kasih dari aku....HD

Unknown said...

@HD owh jadi atas dasar timbul niat dari etnis Rohingya itu untuk mengambil 1 propinsi untuk dijadikan negara yang berdasarkan / berlandaskan islam, jadi baru niat aja sudah syah yah untuk melakukan genosida pembantaian sampai ribuan org, dan yg jahat etnis rohingya,. Trus yg difitnah siapa? PBB sampe turun tangan, wartawan aja yg ngeliput di hukum 7 taun https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45393556 yg harus MIKIR SIAPA??? cak lontong ??..