.

.

Pages

Thursday, March 29, 2012

Kisah Petapa Sumeda

Empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa yang lalu, terdapat sebuah kota yang makmur bernama Amaravatã. Sebuah kota yang sempurna dalam segala hal. Indah dan menyenangkan. Dikelilingi oleh pohon-pohon hijau dan taman yang indah, memiliki persediaan makanan dan barang-barang kebutuhan yang cukup. Kaya akan barang-barang berharga untuk dinikmati oleh masyarakatnya. Kota ini menghangatkan hati para dewa dan manusia.

Di kota ini selalu terdengar suara-suara dari sepuluh macam suara seperti, suara gajah, kuda, kereta, suara genderang besar, genderang kecil, harpa, nyanyi-nyanyian, tiupan kulit kerang, tepuk tangan, dan undangan-undangan pesta. (Di kota-kota lain penuh dengan suara yang tidak menyenangkan, teriakan-teriakan dan tangisan yang menyakitkan).

Kota ini teranugerahi dengan semua karakteristik dari sebuah kota metropolitan. Tidak kekurangan mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup seperti: berlian, emas, perak, mata kucing, mutiara, zamrud, dan selalu didatangi oleh pengunjung-pengunjung dari luar. Lengkap dengan segala barang-barang seperti di alam surga. Di sini adalah alam di mana orang-orang menikmati buah dari perbuatan-perbuatan baik.

Di kota Amaravatã ini hiduplah seorang Brahmana bernama Sumedhà. Ibunya adalah keturunan dari keluarga Brahmana dari generasi ke generasi, demikian pula dengan ayahnya. Sehingga, ia adalah seorang Brahmana murni karena kelahiran, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Ia terlahir dari seorang ibu yang kaya raya dan baik. Ia tidak dapat dicemooh karena kelahirannya dengan mengatakan, “Orang ini lahir dari golongan rendah sampai tujuh generasi leluhurnya.” Ia adalah orang yang tak dapat diremehkan atau dicela. Ia adalah seorang dengan darah Brahmana murni dengan fisik yang menarik perhatian setiap orang.

Sehubungan dengan kekayaannya: Ia memiliki harta yang tersimpan dalam gudang harta dalam jumlah yang sangat besar dan sejumlah besar hasil panen serta barang-barang kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Ia memelajari tiga Kitab Veda: Iru, Yaju, dan Sàma. Menguasai kitab-kitab ini dan dapat menghafalnya tanpa cacat. Tanpa kesulitan ia menguasai:

1. Nighandu, buku yang menjelaskan berbagai istilah,
2. Ketubha, buku mengenai literatur-literatur yang berisi bermacam literatur yang ditulis oleh para peneliti terpelajar,
3. Vyakarana (Akkharapabheda), buku Tata Bahasa yang berhubungan dengan analisis kata-kata dan menjelaskan aturan-aturan tata bahasa dan istilah-istilah seperti alphabet, konsonan, dll,
4. Itihasa (juga disebut Påraõa) yang merupakan Veda kelima yang menceritakan tentang legenda-legenda dan kisah-kisah kuno.

Ia juga ahli dalam Lokayata, karya filosofis yang menentang perbuatan-perbuatan yang dapat memperpanjang saÿsàra dan juga karya yang berhubungan dengan orang-orang besar seperti: Buddha yang akan datang, Pacceka Buddha yang akan datang. Ia juga seorang guru yang mengajarkan cerita-cerita Brahmanis yang diajarkan dari generasi ke generasi.

Orangtua Sumedhà meninggal dunia sewaktu ia masih sangat muda. Penjaga harta keluarga, membawa daftar harta, membuka gudang harta yang penuh dengan emas, perak, batu delima, mutiara, dan lain-lain, dan berkata, “Tuan muda, sebanyak inilah harta yang engkau warisi dari pihak ibu, dan sebanyak ini dari pihak ayah, dan sebanyak ini dari leluhurmu.” Ia memberitahukan Sumedhà tentang kekayaan yang diwarisinya dari tujuh generasi leluhurnya, dan berkata, “Lakukan apa pun yang engkau inginkan dari kekayaan ini.” Kemudian menyerahkannya kepada Sumedhà.

Sumedhà Pergi Bertapa

Suatu hari Sumedhà naik ke teras atas istananya, duduk bersila dalam keheningan, timbul pikiran berikut ini dalam dirinya:

“Sungguh menyedihkan kelahiran sebagai makhluk hidup; Demikian pula kehancuran dari badan jasmani; Sungguh menyedihkan mati dalam tekanan kebodohan dan di bawah kekuasaan usia tua.”

“Karena harus mengalami kelahiran, usia tua, dan sakit, aku akan mencari Nibbàna di mana usia tua, kematian, dan ketakutan padam.”

“Betapa menyenangkan seandainya aku dapat bebas dari tubuh ini secara total, karena tubuh ini penuh dengan benda-benda kotor seperti: air seni, kotoran, darah, ludah, dahak, nanah, lendir, empedu, keringat, dan lain-lain.”

“Pasti ada jalan menuju Nibbàna yang penuh dengan kedamaian. Tidak mungkin tidak ada. Aku akan mencari Jalan menuju Nibbàna sehingga aku dapat terbebas dari lingkaran kehidupan..............................”

Mahàdàna

Setelah merenungkan hal-hal tadi, sekali lagi Sumedhà Sang Bijaksana berpikir, “Dengan memiliki banyak kekayaan ini, ayahku, kakakku, dan para leluhurku serta saudara-saudaraku selama tujuh generasi bahkan tidak mampu membawa hanya satu keping uang pun pada saat mereka meninggal dunia. Namun aku harus dapat menemukan cara untuk membawa kekayaanku ke Nibbàna.” Kemudian ia menghadap raja dan berkata, “Yang Mulia, karena pikiranku sangat terganggu oleh bahaya besar akan penderitaan yang ditimbulkan oleh kelahiran, usia tua, dan lain-lain, maka aku akan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi petapa. Aku mempunyai banyak harta kekayaan. Ambillah hartaku itu.”

“Aku tidak menginginkan harta kekayaanmu. Kamu dapat melepaskannya dengan cara yang engkau inginkan” jawab Raja. “Baiklah, Yang Mulia” jawab Sumedhà Sang Bijaksana. Kemudian dengan tabuhan genderang besar, ia mengumumkan di seluruh kota Amaravatã, “Kepada siapa pun yang menginginkan kekayaanku, silakan datang dan ambil.” Dan ia mendanakan kekayaannya dalam suatu mahàdàna kepada semua orang tanpa membedakan status miskin atau kaya.

Melepaskan Keduniawian

Setelah melakukan mahàdàna, Sumedhà yang Bijaksana, Bakal Buddha, melepaskan keduniawian dan pergi menuju Pegunungan Himalaya dengan tujuan ke Gunung Dhammika pada hari itu juga. Dewa Sakka melihat Sumedhà mendekati Pegunungan Himalaya, memanggil Vissukamma dan berkata, “Pergilah, Vissukamma, Sumedhà, Sang Bijaksana telah melepaskan keduniawian dan bermaksud menjadi petapa. Buatkan sebuah tempat tinggal untuknya.”

“Baiklah Yang Mulia,” jawab Vissukamma. Kemudian ia membuat rancangan sebuah pertapaan yang di dalamnya terdapat sebuah bangunan gubuk beratap daun-daunan dan dilengkapi jalan setapak yang nyaman dan tanpa cacat. (Penulis menjelaskan bahwa jalan ini tanpa cacat karena bebas dari lima macam cacat yaitu:

(1) jalan yang kasar dan tidak rata
(2) ada pohon-pohonan di jalan tersebut,
(3) tertutup oleh semak-semak,
(4) terlalu sempit, dan
(5) terlalu lebar.

Mulai Bertapa

Sesampainya di kaki Pegunungan Himalaya, Sumedhà, Sang Bijaksana berjalan di sepanjang perbukitan dan mencari tempat yang sesuai di mana ia dapat tinggal dengan nyaman. Di sana, di lekukan sungai di wilayah Gunung Dhammika, ia melihat sebuah pertapaan yang indah yang dibangun oleh Vissukamma atas perintah Dewa Sakka. Kemudian ia berjalan perlahan-lahan menuju jalan setapak, namun ia tidak melihat jejak kaki di atas jalan setapak itu, ia berpikir, “Mungkin, para penghuni pertapaan ini sedang beristirahat di dalam pondoknya setelah mengumpulkan dàna makanan yang melelahkan di pemukiman sana.” Dengan pikiran seperti itu ia menunggu beberapa saat.

Namun tidak terlihat tanda-tanda keberadaan orang di sana setelah waktu yang cukup lama. “Aku telah menunggu cukup lama, aku akan menyelidiki apakah tempat ini ada penghuninya atau tidak.” Ia membuka pintu dan masuk ke gubuk, melihat ke sana kemari, kemudian terlihat tulisan di dinding dan berpikir, “Perlengkapan ini cocok untukku. Aku akan menggunakannya dan menjadi petapa.” Setelah memutuskan demikian, dan setelah merenungkan sembilan kerugian memakai pakaian orang biasa dan dua belas keuntungan memakai jubah, kemudian ia mengganti pakaiannya dengan memakai jubah tersebut.

Meninggalkan Gubuk dan Tinggal di Bawah Pohon

Setelah ia menanggalkan pakaiannya yang mewah, Sumedhà, Sang Bijaksana, mengambil jubah yang berwarna merah seperti bunga amoja yang ditemukannya terlipat rapi di atas pasak bambu, siap untuk dipakai, ia melilitkan jubah itu di sekeliling pinggangnya. Di atasnya ia memakai jubah lain yang berwarna emas, yang juga menutupi bahu kirinya. Ia memakai penutup kepala dan mengencangkannya menggunakan penjepit rambut berwarna putih, mengambil sebuah pikulan untuk membawa perlengkapan yang di satu ujungnya digantungkan jaring tempat ia meletakkan tempat air berwarna batu karang, dan di ujung lainnya digantungkan gancu panjang (dipakai untuk memetik buah-buahan dari pohon), sebuah keranjang, tongkat, dan lain lain. Kemudian ia menggantungkan pikulan perlengkapan itu di bahunya yang sekarang penuh dengan perlengkapan petapa. Dengan memegang tongkat di tangan kanannya, ia berjalan keluar dari gubuknya. Sewaktu berjalan mondar mandir sepanjang jalan setapak sepanjang enam puluh lengan, ia mengamati dirinya dengan penampilan baru dan merasa gembira dengan pikiran:

“Keinginanku telah terpenuhi
Indah sekali kehidupan bertapaku ini,
Kehidupan bertapa sangat dipuja oleh para bijaksana,
seperti para Buddha dan Pacceka Buddha,
Penjara rumah tangga telah ditinggalkan,
Aku telah keluar dengan selamat dari alam kenikmatan duniawi,Aku telah memasuki kehidupan menjadi seorang petapa,
Aku akan berusaha melatih kehidupan suci,
Aku akan berusaha mendapatkan hasil dari latihan-latihan suci ini.”
Kemudian ia menurunkan pikulan perlengkapan dari bahunya, duduk diam seperti patung emas di atas batu di tengah jalan setapak, ia melewatkan hari itu di sana.
Pada waktu malam ia masuk ke gubuk, berbaring di atas papan di pinggir dipan, ia menggunakan jubah sebagai selimut dan tidur. Ketika ia bangun keesokan paginya, ia merenungkan alasan mengapa ia ada di sana:
“Karena melihat bahaya dari hidup berumah tangga, dan karena telah melepaskan harta kekayaan, aku masuk ke hutan dan menjadi petapa dengan tujuan untuk mencari jalan yang dapat membebaskan aku dari perangkap nafsu. Mulai saat ini, aku tidak boleh lalai. Ada tiga jenis pikiran salah, yaitu yang berasal dari nafsu (kàma vitakka) yang mengarah kepada kenikmatan indra, yang berasal dari kebencian (vyàpàda vitakka) yang mengarah kepada pembunuhan, perusakan, mencelakai; yang berasal dari kekejaman (vihiÿsa vitakka) yang mengarah kepada melukai dan menyakiti makhluk-makhluk lain. Pikiran-pikiran ini seperti lalat liar yang diberi makanan oleh mereka yang malas dan tidak mau melatih batin agar terbebas dari kotoran batin dan kemelekatan fisik terhadap nafsu indra. Sekaranglah waktunya bagiku untuk secara total melatih ketidak-terikatan (paviveka).”

“Sebenarnyalah, setelah melihat bahaya dari hidup berumah tangga yang menghalangi, merintangi, dan merugikan latihan-latihan ini, aku melepaskan keduniawian. Gubuk dari dedaunan ini sebenarnya sangat indah. Tanah yang baik ini kuning cerah seperti buah yang matang. Dindingnya putih keperakan. Atap dedaunan ini indah kemerahan seperti warna kaki merpati. Dipan rotan ini memiliki corak bagaikan alas tempat tidur yang mewah. Tempat tinggal ini sangatlah nyaman untuk ditempati. Kupikir, kemewahan yang dimiliki petapa sebelumku di sini tidak dapat melebihi kemewahan dari gubuk ini.” Dengan perenungan ini, ia melihat delapan cacat dalam sebuah gubuk dedaunan dan sepuluh keuntungan dari tinggal di bawah pohon. Karena itu, hari itu juga ia meninggalkan gubuk itu dan mencari pohon yang memiliki sepuluh manfaat.

Bermeditasi Dengan Hidup Hanya dari Buah-buahan

Keesokan paginya, ia memasuki perkampungan untuk mengumpulkan dàna makanan. Para penduduk menyediakan berbagai macam makanan. Setelah selesai makan, ia kembali ke tempatnya di hutan, kemudian duduk dan berpikir

“Aku menjadi petapa bukan karena kekurangan makanan. Makanan yang lezat cenderung menambah kesombongan dan keangkuhan seseorang. Kesulitan yang timbul dari kebutuhan mempertahankan hidup dengan makanan tak akan berakhir. Baik sekali jika aku dapat menghindarkan dari memakan makanan yang berasal dari hasil pertanian dan hidup hanya dari buah-buahan yang jatuh dari pohon.

Sejak saat itu, ia hidup hanya dari memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon. Tanpa berbaring sama sekali, ia berlatih meditasi terus-menerus tanpa putus hanya dalam tiga postur: duduk, berdiri, dan berjalan, hingga pada hari ketujuh, ia mencapai Delapan pencapaian (delapan tingkat Jhàna) dan lima kekuatan batin tinggi (Abhinya).

Buku Buddhavaÿsa menceritakan kisah Sumedhà Sang Bijaksana, Bakal Buddha, mulai sejak ia melakukan mahàdàna, sampai kepada saat ia menjadi petapa dan mencapai kekuatan batin dan Jhàna. Pada saat kemunculan Buddha Dipankara di dunia ini, Pertapa Sumedha tengah mendalam di dalam tapa (keadaan Jhana) sehingga beliau tidak mengetahui munculnya seorang Samma SamBuddha, namun setelah selesai bermeditasi Jhana akhirnya beliau mendengar dari penduduk desa tentang kemunculan Seorang Samma Sam Buddha, mendengar kata Buddha batinnya terpenuhi dengan rasa kegiuran (piti) yang sangat mendalam dan berusaha mencari keberadaan Buddha Dipankara melalui kesaktiannya. Dengan cara terbang beliau pergi menuju keberadaan Buddha Dipankara.

Sumedha mengorbankan dirinya

Sumedha menatap tanpa berkedip pada sosok Buddha, yang dianugerahi dengan 32 tanda besar seorang manusia luar-biasa ( Mahapurissa ), dan 80 tanda-tanda kecil lainnya. Ia menyaksikan sosok Buddha yang indah dan bercahaya, seperti terbuat dari emas-murni, dengan aura terang di sekeliling-Nya dan enam sinar memancar dari tubuh-Nya, seperti kilat di langit biru.

Kemudian Sumedha memutuskan sebagai berikut, “Hari ini, aku akan mengorbankan diriku untuk Buddha. Agar Ia tidak menginjak lumpur dan mengalami ketidaknyamanan, biarlah Buddha beserta 400.000 Arahanta menginjak punggungku dan seolah-olah berjalan di atas jembatan kayu berwarna batu delima. Dengan menggunakan tubuhku sebagai jembatan oleh Buddha dan para Arahanta, aku pasti akan mendapat kesejahteraan dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama.”

Setelah mengambil keputusan demikian, ia melepaskan sabuknya, menggelar matras kulit macan dan jubahnya di atas tanah becek kemudian berbaring tiarap diatasnya, bagaikan jembatan yang terbuat dari kayu berwarna batu delima.

Aspirasi Sumedha untuk mencapai Ke-Buddha-an

Sumedha, yang sedang bertiarap, seketika muncul keinginan untuk menjadi Buddha, “Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya ? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipankara ? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai ke-Buddha-an.”

“Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai ke-Buddha-an dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”

“Setelah mencapai ke-Buddha-an sebagai hasil dari perbuatanku yang tiada bandingnya dengan bertiarap dan menjadi jembatan untuk Buddha Dipankara, aku akan menolong banyak makhluk keluar dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”

“ Setelah menyeberangi sungai samsara dan meninggalkan tiga alam kehidupan, aku akan menaiki rakit Dhamma Jalan Mulia Berfaktor Delapan dan pergi menyelamatkan semua makhluk termasuk dewa.” Demikianlah pikirannya bercita-cita untuk menjadi Buddha.

Sumitta , Kelak Menjadi Yasodhara

Sewaktu Sumdedha sedang memikirkan cita-cita untuk mencapai ke-Buddha-an, seorang Brahmana perempuan muda bernama Sumitta bergabung dengan para penduduk menyambut Buddha. Ia membawa delapan kuntum bunga teratai untuk dipersembahkan pada Buddha Dipankara. Sewaktu ia sampai di tengah-tengah keramaian dan begitu matanya menatap Sumedha, ia terpesona dan seketika jatuh cinta kepadanya. Ia ingin mempersembahkan sesuatu pada Sumedha, tapi ia tidak memiliki apa-apa kecuali delapan kuntum teratai. Kemudian ia berkata kepada Sumedha, “Yang Mulia petapa, aku berikan padamu lima kuntum bunga teratai, agar engkau dapat mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa tiga kuntum ini adalah sebagai persembahanku kepada Buddha”. Kemudian ia menyerahkan lima kuntum bunga teratai itu kepada Sumedha, kemudian menyampaikan keinginannya, “ Yang Mulia Petapa, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai Ke-Buddha-an ; semoga aku dapat selalu menjadi pendampingmu.”

Sumedha menerima bunga teratai dari Sumitta dan di tengah-tengah keramaian, mempersembahkannya kepada Buddha-Dipankara, yang datang menghampirinya.

Ramalan Pasti dari Buddha Dipankara : Sumedha kelak akan menjadi Buddha

Mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumitta, Buddha membuat ramalan di tengah-tengah keramaian :

“ O… Sumedha, perempuan ini Sumitta, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, ia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, ia akan berpenampilan cantik dan menyenangkan, manis tutur katanya dan baik hati. Dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, dalam kelahiranmu yang terakhir, ia akan menjadi murid perempuan yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang Arahanta, lengkap dengan kemampuan batin tinggi.”

Pada saat Buddha-Dipankara menyatakan hal tersebut diatas, Petapa Sumedha memang telah memenuhi kedelapan faktor yang diperlukan untuk menerima ramalan kepastian bahwa kelak ia akan menjadi Buddha. Kedelapan faktor tersebut adalah :

1. Ia adalah manusia
2. Ia adalah laki-laki
3. Telah memenuhi semua kondisi seperti Kesempurnaan yang diperlukan untuk meraih tingkat ke-Arahatta-an dalam kehidupan itu juga
4. Dia harus bertemu muka dengan muka dengan seorang Buddha yang hidup.
5. Dia harus menjadi seorang Petapa yang percaya hukum karma (Kammavadi) atau
pernah menjadi anggota Sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
6. Dia harus memiliki kekuatan-batin / mencapai keempat Rupa-Jhana dan keempat Arupa-Jhana ( yang dikenal sebagai “Attha-Samapatti-Jhana-Labhi” ).
7. Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memperdulikan hidupnya .
8. Dia harus memiliki kebulatan tekad yang kuat untuk menjadi seorang Buddha meskipun dia tahu bahwa dia akan menanggung penderitaan sebagai binatang, setan, dan lain-lain di dunia yang menyedihkan. Dengan kata lain, dia harus mencegah dirinya untuk mencapai tingkat Arahat, dengan tekad bulat dan tetap berdiam di dalam samsara untuk kepentingan umat manusia dan para dewa.Mengetahui bahwa Sumedha memiliki persyaratan ini, Buddha Dipankara menghampiri Sumedha dan berdiri di dekat kepalanya, selagi ia masih bertiarap, dengan kekuatan batin-Nya, melihat jauh ke masa depan untuk mengetahui apakah Sumedha, yang sedang berbaring tiarap di atas lumpur, yang berkeinginan untuk menjadi Buddha, dapat tercapai keinginannya atau tidak.

Buddha Dipankara mengetahui semua tentang masa depan Sumedha, dan berkata,” Sumedha akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4 Asankkheyya-Kappa dan 100.000 Kappa sejak saat ini.”

Setelah mendengar ramalan Buddha Dipankara yang tiada bandingnya di tiga alam, dewa dan manusia bersorak gembira, “Dikatakan Sumedha Sang petapa, adalah benar-benar seorang Bakal Buddha.” Mereka menepuk lengan kiri atas mereka dalam kegembiraan ( pada masa itu mereka tidak bertepuk tangan untuk menyatakan kegembiraan, tapi menepuk lengan kiri dengan telapak tangan kanan ). Dewa dan Brahma yang datang dari sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan manusia mengangkat tangan memberi penghormatan.

Mereka juga mengungkapkannya lewat pengharapan,” Meskipun sekarang kami gagal dalam melatih ajaran Buddha Dipankara, raja dunia, kami akan bertemu lagi dengan petapa mulia ini yang kelak akan menjadi Buddha; saat itu kami akan sungguh-sungguh berusaha keras untuk mencapai pengetahuan Dhamma yang lebih tinggi.”

Setelah Buddha Dipankara membuat ramalan, Ia pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya di sebelah Sumedha. Keempat ratus ribu Arahanta juga meninggalkan tempat dengan Sumedha di sisi kanan mereka ( setelah mempersembahkan bunga dan dupa ). Demikian pula dengan manusia, para Naga, musisi Surgawi ( Gandhabba ) meninggalkan tempat setelah memberi penghormatan kepada Sumedha dan mempersembahkan bunga dan dupa.

Setelah Buddha Dipankara dan keempat ratus ribu Arahanta menghilang dari pandangan, Sumedha bangun dengan gembira dari posisi tiarapnya, dan dengan pikiran dipenuhi kegembiraan dan kebahagiaan, ia duduk bersila diatas tumpukan bunga-bunga yang ditebarkan untuk menghormatinya oleh para dewa dan manusia, kemudian Pertapa Sumedha melakukan Bodhinyana (penyelidikan terhadap Dhamma) Bumi pun bergoncang bergetar, sepuluh ribu alam semesta dan alam para Dewa pun turut berguncang akibat kekuatan Penyelidikan terhadap Dhamma yang dilakukan Pertapa Sumedha

Thursday, March 22, 2012

David Beckham menjadi Pengikut Buddha

Trend perpindahan kepercayaan orang-orang barat untu belajar dan mengikuti ajaran Buddha kian hari kian bertambah. Tidak hanya kalangan muda milenium ke-tiga, mereka yang telah berusia pun mulai tersentuh dengan ajaran Buddha yang diajarkan Guru Gautama.

Generasi muda di Eropa tertarik dengan filosofi Buddha karena mereka telah bosan dengan doktrin ajaran yang harus menerima semua instruksi yang tertulis. Pembatasan pertanyaan fundamental mengenai hakikat kebenaran mutlak menjadikan doktrin yang telah berkembang sebelumnya mulai runtuh. Satu-satunya filosofi atau ajaran yang membuka gerbang sebesar-besarnya untuk mengeksplor ajaran/filosofi adalah ajaran Buddha.

Di akhir abad 20 ini, muncullah aktor-aktor terkenal Richard Gere, Steven Heagel, Angelina Jolie, hingga pemain bola legendaris dari Inggris – David Beckham tertarik dengan ajaran Buddha. Mereka menjadi Buddhis bukan karena proses doktrinisasi, melainkan suatu perjalanan mencari hakikat diri dan kebenaran. Hal yang serupa juga terjadi pada penyanyi sekaligus penulis muda terkenal, Dewi Lestari, penulis “Supernova”.

David Beckham bersama istrinya Victoria pindah mengikuti ajaran Buddha. Suami istri bersama tiga orang anaknya yang sekarang tinggal di Los Angeles diberitakan mulai mendekati ritual Buddhis dan setiap pagi mereka melakukan chanting atau membaca sutta untuk mengimbangi aktivitas hidup mereka yang sangat sibuk.

Seorang narasumber menyatakan : “ David Beckham bersama istrinya sepenuhnya menjadi orang California. Beckham mulai memadukan kesehatan, kesejahteraan, dan tampilan mala/tasbih di pergelangan tangannya. Beckham mulai mengikuti kelas meditasi yoga dan olah tubuh setelah cedera lutut, dan teman timnya menyarankan ia untuk melakukan chanting/membaca sutta untuk kedamaian batinnya.

“Saat ini, Beckham dan Victoria selalu melakukan chanting singkat selama 5 menit ketika mereka bangun pagi untuk memulai hari mereka yang kosong (kerjaan). Mereka melafal sutta “‘Homage to the blessed one, the worthy one, the rightly self-awakened one – Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddha”. Selain melakukan ritual pada umumnya, beliau juga mulai mengonsumsi makanan yang tepat.

Kebiasaan Pilindavaccha menggunakan Kata-kata Kasar

Yang Mulia Pilindavaccha memiliki kebiasaan memanggil orang lain dengan menyebut "penjahat" (vasala-samudacara), seperti saat memberikan perintah, "kemarilah, penjahat," atau "pergilah, penjahat." atau "Bawa kemari, penjahat," atau "ambillah, penjahat'" dan sebagainya.

Para bhikkhu melaporkan kebiasaan Yang Mulia Pilindavaccha ini kepada Bhagava. Mereka bertanya, " yang Mulia , apakah para ariya menggunakan kata-kata kasar?" dan Buddha berkata " para bhikkhu, para Ariya tidak berkata-kata kasar dengan maksud jahat. Namun, karena kebiasaan yang telah berlangsung sejak kehidupannya pada masa lampau, kata-kata kasar dapat muncul secaa tidak sengaja. " para Bhikkhu berkata, " Buddha Yang Agung, Yang Mulia Pilindavaccha dalam berbicara dengan orang awam selalu memanggil oang itu dgn 'penjahat' apakah alasannya?"

"Para bhikkhu, Pilidavaccha selama lima ratus kelahiran berturut-turut pada masa lampau terlahir dalam kasta brahmana yang tinggi yang biasa memanggil orang lain dengan sebutan 'penjahat' (vasala) Kebiasaan ini menjadi tertanam dalam dirinya. Ia tidak bermaksud menyebut orang itu 'penjahat'. Ia tidak memiliki niat jahat. kata-katanya meskipun kasar di telinga, sama sekali tidak berbahaya. Seorang Ariya, karena tidak memiliki kebencian, tidak dapat di salahkan karena kebiasaanya dalam berbahasa. Kemudian, pada kesempatan itu Buddha mengucapkan syair berikut :Akakkasam vinnapanim,

giram saccamudiraye;
Yaya nabhisaje kan ci
tamaham brumi Brahmanam.


"Ia yg berbicara dengan lemah lembut, memberikan informasi dan dgn kata-kata yg benar dan tidak menghina orang lain melalui kata-katanya, ia Kusebut seorang brahmana (Arahanta)" (Dhammapada, 408)

Pada akhir pengucapan syair tersebut oleh Buddha, banyak pendengar yang mencapai Pencerahan dalam berbagai tingkat seperti Sotapatti-Phala dan sebagainya. (Meskipun kata "Penjahat" terdengar kasar bagi sebagian orang, tetapi karena Arahanta Pilindavaccha mengucapkannya tampa di dasari kebencian, hal ini tidak di sebut sebagai bentuk perkataan salah)

Tuesday, March 20, 2012

Berdamai dengan diri sendiri (Cerita Zen)

Ada seorang dokter militer yang mengikuti pasukan ke medan perang. Ia mengobati tentara yang terluka di medan perang.

Bila pasiennya sembuh dari luka, mereka di kirim kembali untuk bertempur. Akibatnya, mereka terluka lagi, lalu terbunuh.

Setelah melihat skenario ini berulang-ulang, dokter tersebut akhirnya mengalami patah semangat.

Pikirnya : Bila kondisi seseorang selalu dekat dengan kematian, mengapa aku harus menyelamatkannya ? Bila pengetahuan medisku ada gunanya, mengapa ia pergi ke medan perang dan kehilangan nyawanya.

Dokter tersebut tidak memahami apakah ada artinya ia menjadi dokter militer, dan ia sangat sedih sehingga ia tidak mampun menyembuhkan orang lagi.

Karenanya, ia naik gunung untuk mencari seorang master Zen.

Setelah bersama seorang master Zen selama beberapa bulan ...

Akhirnya, ia mengerti masalah dia sepenuhnya. Ia turun gunung untuk terus berpraktek sebagai dokter.

Katanya : INI KARENA AKU SEORANG DOKTER.

================

Catatan
Tidak meng-identifikasi diri sendiri dengan sesuatu atau menghubungkan sesuatu dengan "aku" dan mengerti bahwa ide adanya "aku" yang berbeda dari benda lain adalah "noda", itulah kebijaksanaan sejati.

AN 5.148. Sappurisadana Sutta: Dana dari orang yang Berbudi mulia.

Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang yang berbudi mulia.

Apakah yang lima itu?

Dia memberi dengan keyakinan; dia memberi dengan penuh hormat; dia memberi pada saat yang tepat; dia memberi dengan hati yang dermawan; dia memberi tanpa menjelekkan.

Karena dia memberi dengan KEYAKINAN, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan dia elok, menarik, anggun, memiliki keindahan kulit yang luar biasa.

Karena dia memberi dengan PENUH HORMAT, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan anak istrinya, budaknya, persuruh dan pekerjanya patuh, mendengarkan dia dan menggunakan pikirannya untuk memahami dia.

Karena dia memberi PADA WAKTU YANG TEPAT, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan keuntungan-keuntungan datang kepadanya pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang melimpah.

Karena dia memberi dengan MURAH HATI, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan pikirannya cenderung menikmati hal-hal yang menyenangkan di antara lima kesenangan indera.

Karena dia memberi TANPA MENJELEKKAN DIRINYA MAUPUN ORANG LAIN, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan tidak terjadi hilangnya kekayaan dari penjuru mana pun, entah dari api atau banjir atau raja atau bandit atau ahli waris yang tidak dicintai.

Inilah para bhikkhu, lima pemberian orang yang berbudi mulia.

(AN V.148)

-----------------------------------

NIDHIKANDA SUTTA: KHOTBAH Pengumpulan Harta Sejati [Khuddakapatha 8, Khuddaka Nikaya]

1 Walaupun harta seseorang ditimbun dalam-dalam di dasar sumur,

Dengan tujuan : bila suatu saat diperlukan untuk pertolongan, harta yang disimpan itu dapat digunakan.

2 Atau ia berpikir : “Untuk pembebasan dari kemarahan raja, atau untuk uang tebusan bila aku ditahan sebagai sandera, atau untuk melunasi hutang-hutang bila keadaan sulit, atau mengalami musibah” Inilah alasan-alasan seseorang untuk menimbun harta.

3 Meskipun hartanya ditimbun dalam-dalam di dasar sumur, sama sekali tidak akan mencukupi semua kebutuhannya untuk selama-lamanya.

4 Jika timbunan harta itu berpindah tempat, atau ia lupa dengan tanda-tandanya, atau bila “Naga-Naga” mengambilnya, atau Yakkha-Yakkha mencurinya.

5 Mungkin juga timbunan harta itu dicuri oleh sanak keluarganya, atau ia tidak menjaganya dengan baik, atau bila buah KAMMA baiknya telah habis, semua hartanyapun akan lenyap.

6 Gemar berdana dan memiliki moral yang baik, dapat menahan nafsu serta mempunyai pengendalian diri, adalah timbunan “Harta” yang terbaik, bagi seorang wanita maupun pria.

7 “Harta” tersebut dapat diperoleh dengan berbuat kebajikan, kepada cetiya-cetiya (vihara) atau Sangha, kepada orang lain atau para tamu, kepada Ibu dan Ayah, atau kepada orang yang lebih tua.

8 Inilah “Harta” yang disimpan paling sempurna, tidak mungkin hilang, tidak mungkin ditinggalkan, walaupun suatu saat akan meninggal, ia tetap akan membawanya.

9 Tak seorangpun yang dapat mengambil “Harta” itu, perampok-perampokpun tidak dapat merampasnya, oleh karena itu, lakukanlah perbuatan-perbuatan bajik, karena inilah “Harta” yang paling baik.

10 Inilah “Harta” yang sangat memuaskan, yang diinginkan para dewa dan manusia, dengan buah kebajikan yang ditimbunnya, apa yang diinginkan akan tercapai.

11 Wajah cantik dan suara merdu, kemolekan dan kejelitaan, kekuasaan dan pengikut, semua diperoleh berkat buah kebajikan itu.

12 Kedaulatan dan kekuasaan kerajaan besar, kebahagiaan seorang raja Cakkhavati, atau kekuasaan dewa di alam surga, semuanya diperoleh berkat buah kebajikan itu.

13 Setiap kejayaan manusia, setiap kebahagiaan surga, bahkan kesempurnaan Nibbana, semuanya diperoleh berkat buah kebajikan itu.

14 Memiliki sahabat-sahabat sejati, memiliki kebijaksanaan dan mencapai pembebasan, semuanya diperoleh berkat buah kebajikan itu.

15 Memiliki pengetahuan analitis untuk mencapai pembebasan, mencapai kesempurnaan sebagai seorang siswa mulia, menjadi Pacceka Buddha atau Samma Sambuddha, semuanya diperoleh berkat buah kebajikaan itu.

16 Demikian besar hasil yang diperoleh dari buah kebajikan itu, oleh karenanya orang Bijaksana selalu bertekad untuk menimbun “Harta” kebajikan.

~ Khuddakapatha 8, Khuddaka Nikaya

Monday, March 19, 2012

108 Kata Perenungan Master Cheng Yen


  1. Orang bodoh membangun tembok pemisah dalam hatinya, orang bijaksana merobohkan tembok pemisah tersebut dan hidup berdampingan secara damai dengan orang lain.
  2. Kesuksesan yang paling besar dalam hidup adalah bisa bangkit kembali dari kegagalan.
  3. Ada dua hal yang tidak bisa ditunda dalam kehidupan: berbakti kepada orangtua dan melakukan kebajikan.
  4. Jika ingin meningkatkan kebijaksanaan, kita mesti membebaskan diri dari sifat kemelekatan dan keraguan.
  5. Cita-cita boleh saja tinggi dan jauh kedepan, namun langkah yang diperlukan untuk itu, harus diterapkan sejak sekarang.
  6. Jangan mengenang terus jasa yang telah diberikan, jangan melupakan kesalahan yang pernah dibuat. Lupakanlah dendam yang ada di dalam hati, namun jangan melupakan budi baik yang pernah diterima.
  7. Keinginan yang belebihan, selain mendatangkan penderitaan juga sering menggiring orang melakukan perbuatan yang mendatangkan karma buruk.
  8. Jangan takut terdorong oleh orang-orang yang lebih mampu dari kita. Karena dorongan tersebut akan memberi semangat untuk terus maju.
  9. Orang tidak mempunyai hak milik atas nyawanya, melainkan hanya memiliki hak untuk menggunakannya.
  10. Tetesan air dapat membentuk sebuah sungai, kumpulan butiran beras bisa memenuhi lumbung. Jangan meremehkan hati nurani sendiri, lakukankalh perbuatan baik meskipun kecil.
  11. Lahan batin manusia bagaikan sepetak sawah, bila tidak ditanami dengan bibit yang baik, tidak akan bisa menuai hasil yang baik.
  12. Orang berbudi luhur mempunyai tujuan hidup, sedang orang yang berpikiran sempit menganggap hidup sebagai tujuan.
  13. Sertakan saya dalam perbuatan baik, jangan libatkan saya dalam perbuatan jahat.
  14. Anggaplah segala permasalahan sebagai pelajaran, pujian sebagai peringatan untuk mawas diri.
  15. Dengan memiliki keyakinan, keuletan, dan keberanian, tidak ada hal yang tidak berhasil dilakukan di dunia ini.
  16. Orang harus menyayangi diri sendiri baru dapat mencintai orang di seluruh dunia.
  17. Dalam mengatasi berbagai masalah hendaknya berhati-hati, cermat, namun jangan berpikiran sempit.
  18. Tidak perlu merasa khawatir atas banyaknya masalah, yang perlu dikhawatirkan hanya masalah yang sengaja dicari-cari.
  19. Hendaknya kita menyadari, mensyukuri, dan membalas budi orangtua.
  20. Jika enggan mengerjakan hal kecil, maka kita pun akan sulit menyelesaikan tugas yang besar.
  21. Ikrar harus luhur, tekad harus kokoh, kepribadian harus lemah lembut, dan hati harus peka.
  22. Hanya orang yang menghargai dirinya sendiri, yang mempunyai keberanian untuk bersikap rendah hati.
  23. Keserakahan, kebencian, dan kebodohan merupakan 3 racun dalam kehidupan manusia. Atasi keserakahan dengan berdana, kebencian dengan hati yang welas asih, dan atasi kebodohan dengan kebijaksanaan.
  24. Penyesalan adalah pengakuan dari hati nurani, dan dapat juga dikatakan sebagai pembersihan terhadap kekotoran batin.
  25. Berdana bukanlah hak khusus yang dimiliki orang kaya, melainkan merupakan perwujudan dari sebuah cinta kasih yang tulus.
  26. Hidup manusia tidak kekal. Bersumbangsihlah pada saat Anda dibutuhkan, dan lakukanlah selama Anda masih bisa melakukannya.
  27. Jadilah orang yang tidak mengandalkan kekuasaan, status social, dan harta kekayaan dalam menjalani hidup.
  28. Malapetaka dan bencana yang melandai dunia, sebagian besar merupakan hasil perbuatan orang-orang yang sehat jasmaninya, namun cacat rohaninya.
  29. Memaafkan orang lain berarti berlaku baik pada diri sendiri.
  30. Ada tiga "tiada" di dunia ini, tiada orang yang tidak saya cintai, tiada orang yang tidak saya percayai, dan tiada orang yang tidak bisa saya maafkan.
  31. Pikiran dan perilaku kita sendiri yang menciptakan dan menentukan surga dan neraka.
  32. Sumber penderitaan manusia ada 3, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
  33. Penyakit pada tubuh tidaklah menakutkan, batin yang sakit justru lebih mengerikan.
  34. Kebijaksanaan diperoleh dari bagaimana seseorang menghadapi masalah dalam hidupnya. Apabila ia menghindar dari masalah yang ada, maka ia pun tidak akan dapat mengembangkan kebijaksanaannya.
  35. Sumber dari kerisauan hati adalah keinginan manusia untuk selalu "memiliki".
  36. Ada sebagain orang yang sering merasa risau, akibat perkataan buruk orang lain yang sebenarnya tidak perlu dihiraukan.
  37. "Keserakahan", selain membawa penderitaan, juga akan menjerumuskan manusia ke dalam penderitaan.
  38. Sebelum mengkritik orang lain, pikirkan dahulu apakah kita sendiri telah sempurna dan bebas dari kesalahan.
  39. Setiap hari merupakan lembaran baru dalam hidup kita, setiap orang dan setiap hal yang ada di dalamnya merupakan kisah-kisah yang menarik.
  40. Bila kita selalu ragu dan tidak memiliki tekad yang kuat, walaupun jalan yang benar telah terbentang di depan mata, kita tetap tidak akan pernah sampai ke tempat tujuan.
  41. Orang yang paling berbahagia adalah orang yang penuh dengan cinta kasih.
  42. Dengan menjaga tutur kata dan bersikap dengan baik, maka kita akan menjadi orang yang disenangi dan dicintai orang lain.
  43. Mengernyitkan dahi dan tersenyum, keduanya sama-sama merupakan sebuah ekspresi, mengapa tidak tersenyum saja?
  44. Hati hendaknya bagaikan bulan purnama yang bersinar terang. Hati hendaknya juga seperti cakrawala luas dengan langit yang cerah.
  45. Niat baik yang tidak dilaksanakan sama halnya seperti bertani tanpa menebarkan benih. Hal ini hanya menyia-nyiakan kesempatan baik yang ada.
  46. Setiap hari kita harus bersyukur dan berterima kasih kepada orangtua dan semua makhluk. Jangan melakukan sesuatu yang mengecewakan mereka.
  47. Memberi dan melayani jauh lebih berharga dan membahagiakan daripada diberi dan dilayani.
  48. Tidak peduli seberapa jauh jalan yang harus ditempuh dan selalu berusaha sebaik mungkin mencapai tujuan dengan kemampuan yang dimiliki, inilah yang disebut dengan keuletan.
  49. Orang yang paling berbahagia adalah orang yang mampu mencintai dan dicintai orang lain.
  50. Sebaik apa pun hati seseorang, bila tabiat dan tutur katanya tidak baik, maka ia tidak dapat dianggap sebagai orang baik.
  51. Kasih sayang yang mengharapkan pamrih tidak akan bertahan lama. Yang akan bertahan selamanya adalah kasih sayang yang tak berwujud, tak ternoda, dan tanpa pamrih.
  52. Cinta kasih harus bagaikan seduhan the wangi dengan komposisi yang pas. Bila terlalu pekat akan terasa pahit dan kita tidak dapat meminumnya.
  53. Hadiah paling berharga di dunia ini adalah hadiah berbentuk maaf.
  54. Bertuturlah dengan kata yang baik, berpikirlah dengan niat yang baik dan lakukanlah perbuatan baik.
  55. Jangan menganggap remeh diri sendiri, karena setiap orang memiliki potensi yang tak terhingga.
  56. Kesuksesan hidup selama puluhan tahun merupakan akumulasi perilaku setiap hari, maka setiap hari kita harus menjaga perilaku dengan sebaik-baiknya.
  57. Semua manusia takut mati, takut menderita, apakah makhluk hidup lain tidak merasa takut juga? Oleh karena itu, kita harus melindungi semua makhluk hidup dan menghargai kehidupan.
  58. Marah adalah menghukum diri sendiri atas kesalahan yang diperbuat oleh orang lain.
  59. Hendaknya kita bersaing untuk menjadi siapa yang lebih dicintai, bukan siapa yang lebih ditakuti.
  60. Musuh terbesar kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri.
  61. Bekerja untuk hidup sangat menyiksa, hidup untuk bekerja sangat menyenangkan.
  62. Sumber penderitaan manusia adalah nafsu keserakahan untuk memiliki. Bila tidak bisa memperoleh yang diingankannya, dia akan menderita, namun bila telah memperolehnya, dia juga akan menderita karena takut kehilangan.
  63. Kesederhanaan adalah keindahan, keserasian adalah keanggunan.
  64. Hakekat terpenting dari pendidikan adalah pewarisan cinta kasih dan rasa syukur, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
  65. Kita hendaknya bersyukur kepada bumi yang menyediakan sumber daya alam sehingga kita dapat melanjutkan kehidupan, dan bersyukur kepada leluhur yang telah menyediakan lahan dan mengajarkan kita bagaimana cara untuk bertahan hidup.
  66. Hati yang dipenuhi rasa syukur akan membangkitkan rasa haru. Rasa haru merupakan dorongan untuk melakukan kebajikan.
  67. Bila dituduh orang lain, terimalah dengan rasa syukur. Bila menemukan kesalahan orang lain, sadarkan dengan sikap menghargai.
  68. Bersyukurlah kepada orang yang menerima bantuan kita, karena mereka memberikan kesempatan baik bagi tercapainya pembinaan rasa cinta kasih kita.
  69. Merupakan suatu berkah apabila sesama manusia dapat saling menghargai dan saling bersyukur.
  70. Dengan berjiwa besar, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan di dunia ini. Bila berjiwa sempit, walaupun kesenangan berlimpah, kita akan tetap merasa menderita.
  71. Mengurangi nafsu keinginan dan memperluas cinta kasih, kehidupan akan dilalui dengan gembira, nyaman dan bebas tanpa beban.
  72. Pandai menempatkan diri dan berpikir demi orang lain adalah sikap orang yang penuh pengertian.
  73. Pada umumnya orang lebih dapat menanggung beban kerja yang berat daripada menanggung kebencian, namun orang yang berkepribadian mulia adalah orang yang dapat melupakan kebencian.
  74. Cara berterima kasih dan membalas budi kepada bumi adalah dengan terus mempertahankan konsep pelestarian lingkungan.
  75. Intropeksi dirilah bila mendapat kritikan orang lain. Jika salah harus diperbaiki; bila tidak bersalah, cobalah untuk menerimanya dengan lapang dada.
  76. Berjiwa besar menerima kekurangan orang lain merupakan suatu hal yang luar biasa di tengah hal yang biasa.
  77. Binalah cinta kasih yang tulus dan murni. Hati tidak akan risau bila tidak mengharapkan pamrih atau merasa rugi dalam memberikan cinta kasih.
  78. Menghibur orang dengan kata-kata yang baik dan lembut, melerai perselisihan dengan kata-kata bijaksana dan membantu kesulitan orang lain dengan tindakan nyata, inilah yang dinamakan berdana.
  79. Selalu mengejar kenikmatan materi adalah sumber penderitaan manusia. Menderita bila tak bisa memperolehnya, dan bila bisa memperolehnya akan merasa belum puas. Semuanya merupakan penderitaan yang tak akan pernah berakhir.
  80. Mampu merasakan kebahagiaan orang lain seperti kebahagiaan sendiri adalah kehidupan yang penuh dengan kepuasan dan paling kaya akan makna.
  81. Jangan menganggap enteng perbuatan baik sekecil apa pun, karena bila terhimpun menjadi satu merupakan bantuan yang berharga dan bermanfaat bagi orang lain.
  82. Seulas senyuman mampu mendamaikan hati yang gelisah.
  83. Kehidupan kita bermakna apabila kita dapat bermanfaat bagi orang lain.
  84. Jangan mencemaskan beban yang berat, asalkan tetap berjalan di arah yang benar, pasti akan samapi ke tujuan.
  85. Orang yang selalu mengasah orang lain, dirinya sendiri akan terasah, namun bagi orang yang selalu diasah, selain tidak rusak, malah akan lebih bersinar cemerlang, bagaikan berlian yang sesungguhnya.
  86. Prinsip penting mencapai keselarasan dalam penyelesaian masalah adalah menyadari kapan saatnya maju dan kapan saatnya mengalah.
  87. Dengan bersabar dan mengalah, hidup akan damai dan tenteram; saling bersitegang akan mendatangkan malapetaka.
  88. Genggamlah kesempatan untuk berbuat kebajikan. Bila hanya menunggu, kesempatan itu akan berlalu dan semuanya sudah terlambat.
  89. Mampu mematuhi tata tertib dalam berorganisasi, berpadu hati, ramah tamah, saling mengasihi, dan bergotong royong, berarti sebuah kemajuan yang telah dicapai dalam melatih diri yang dilakukan dengan penuh konsentrasi.
  90. Jangan menyia-nyiakan waktu; lakukan hal yang bermanfaat dengan langkah yang mantap.
  91. Tak ada yang tidak dapat diatasi dalam hidup ini; dengan adanya tekad, maka segalanya akan dapat diatasi.
  92. Jangan pusingkan apakah orang akan memperbaiki perilaku atau sikap buruknya, yang terpenting adalah kita tetap melatih diri dengan sebaik mungkin.
  93. Bila cermin dalam hati dapat selalu dibersihkan, maka dapat secara jelas membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan salah.
  94. Jadikan batin kita sebagai tempat pelatihan diri dan hargailah semua orang dengan sikap kesetaraan.
  95. Sebuah tindakan jauh lebih bermakna dibandingkan dengan ribuan ucapan.
  96. Walaupun memiliki impian dan harapan pada masa berabad-abad kedepan, namun jangan sampai mengabaikan hal yang ada pada saat sekarang.
  97. Kepintaran adalah kemampuan untuk membedakan mana yang menguntungkan dan merugikan. Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah.
  98. Jangan meremehkan kemampuan sendiri, karenanya mulailah dengan mengubah kondisi hati kita barulah dapat mengubah dunia agar menjadi lebih baik.
  99. Lebih baik belajar dari kelebihan orang lain daripada mencari kelemahan dan kesalahan orang lain.
  100. Hadapilah kesalahan orang lain dengan lapang dada dan lemah lembut.
  101. Iblis yang ada di luar diri kita tidaklah menakutkan, yang mengerikan adalah iblis yang terdapat di dalam hati.
  102. Kehidupan manusia bagaikan meniti kawat baja. Bila kita tidak bersungguh-sungguh melihat ke depan, malah sebaliknya selalu menoleh ke belakang, kita pasti akan terjatuh.
  103. Faktor pemersatu dalam organisasi adalah toleransi dan tenggang rasa terhadap pendapat yang berbeda.
  104. Berbakti adalah sikap yang bersedia berkorban pada saat dibutuhkan oleh orangtua.
  105. Kebiasaan buruk bagaikan virus yang menyerang batin manusia, harus dicegah jangan sampai berkembang.
  106. Berdana ada 3 macam, memberi bantuan makanan dan pakaian, memberikan nasehat bagi orang yang hatinya sedang hampa, dan memberikan kedamaian kepada orang yang panic dan ketakutan.
  107. Masalah di dunia tidak dapat diselesaikan oleh satu orang saja, dibutuhkan uluran tangan dan kekuatan banyak orang untuk dapat menyelesaikan.
  108. Orang yang mau mengakui kesalahan dan memperbaikinya dengan rendah hati akan dapat meningkatkan kebijaksanaanya.

Friday, March 16, 2012

PERDUKUNAN

Beberapa waktu yang lalu , masyarakat kota Medan disentakkan dari lamunan , yang seakan akan bagaikan mimpi yaitu dengan ditemukannya 42 korban kebiadaban, dukun Ahmad Suraji (AS) alias Nasib Kelewang (Datuk), di dusun I Aman Damai, Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Deli Serdang. Semua korbannya adalah wanita, yang dijadikan tumbal untuk kesempurnaan ilmu hitam, yang di dalami (dituntut). Jasa praktek perdukunan, sudah merupakan rahasia umum, yang diharapkan bagi segelintir orang orang, yang tidak tahan di dalam menghadapi rintangan rintangan hidup atau tidak memiliki kepercayaan diri, menatap kenyataan kenyataaan yang telah terjadi. Di daerah daerah yang masih terpencil dan jauh dari jangkauan teknologi, praktek perdukunan sangat dominan mempengaruhi pola hidup masyarakat di sekitarnya. Di saat menghindari rintangan hidup, misalnya untuk mendapatkan kesembuhan, meminta hujan, menolak bencana alam atau mendapatkan kesejahteraan hidup, jasa dukun sangatlah diharapkan, apakah memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, itu adalah nomor dua. Yang terpenting, sang dukun telah berusaha, untuk memenuhi apa yang diminta (diinginkan). Kalau praktek perdukunan terjadi di daerah yang terpencil, itu adalah hal yang sangat lumrah dan umum dijumpai serta rasanya, tidaklah perlu diherankan lagi, karena kondisi masyarakatnya masih lugu, polos dan taraf pendidikannya, masih sangat minim. Tetapi di era teknologi yang serba canggih ini, terutama sekali di perkotaan, ternyata praktek perdukunan, juga tidak mengalami penurunan dalam hal "omzet : pemasukan", dan tidak sedikit yang dijumpai, baik yang datang secara terang terangan maupun sembunyi sembunyian. Dengan terungkapnya kasus Dukun Ahmad Suraji ( AS), yang telah membantai 42 orang korbannya dengan sadis, nampaklah dengan jelas bahwa praktek perdukunan, sesungguhnya lebih banyak dampak negatifnya, daripada yang diharapkan. Kasus korban dukun Ahmad Suraji (AS), bisa saja hanya merupakan satu, diantara sekian banyak kasus korban, yang dirugikan oleh praktek perdukunan, yang telah berhasil diketemukan (dibongkar) oleh aparat keamanan. Seperti yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya, seseorang menggunakan jasa perdukunan adalah:
  1. Kurangnya rasa percaya diri, dalam arti kata, tidak memiliki suatu keyakinan bahwa dia mampu, untuk menyelesaikan problema problema yang sedang atau yang telah terjadi.
  2. Tidak sabar dan ingin secepatnya meraih atau menyelesaikan, apa yang diharapkan.
  3. Tidak yakin akan adanya hukum karma, bahwa setiap makhluk pasti akan memiliki, mewaisi dan terlindung oleh perbuatannya masing masing.
Selanjutnya, faktor faktor lain yang menjadi penyebab, sampai terjeremusnya seseorang menggunakan jasa perdukunan, pada umumnya adalah :
  1. MASALAH PERJODOHAN
    Hingga saat ini, masih terdapat anggapan keliru yang menyatakan bahwa hidup berdampingan alias sampai berumah tangga adalah hidup yang sesungguhnya. Sehingga dengan adanya anggapan yang keliru ini, bagi yang masih lajang / gadis, akan berusaha untuk mendapatkan pasangan yang didambakan, baik secara halus maupun kasar. Yang halus misalnya dengan menggunakan jasa dukun, yang salah satu wujudnya adalah dengan cara memasang "pemanis" untuk memikat yg diinginkan. Sedangkan cara yang kasar adalah dengan menculik atau menggunakan kekerasan lainnya. Ada juga pameo yang mengatakan jika " cinta ditolak maka dukun pun bertindak " Di dalam sabdanya, Sang Buddha menyabdakan, bahwa kebahagiaan bisa diraih, selain melalui jalur berumah tangga juga "non" berumah tangga, misalnya menjadi anggota Sangha (Bhikkhu / ni). Hidup berpasangan yang katanya "setia sehidup semati" , tidaklah bertentangan dengan Buddha Dharma, sejauh diraih dengan jalur yang benar dan tidak dengan cara cara yang kurang terpuji alias pemaksaan, misalnya melalui jasa perdukunan. Di media massa, hampir setiap hari bisa dijumpai berita berita perceraian, yang pada umumnya terjadi setelah beranak satu atau dua. Mengapa perihal ini sampai terjadi……? Ini merupakan salah bukti yang nyata bahwa jalur percintaan yang diawali dengan ketulusan hingga ke pelaminan, tidaklah menjamin kebahagiaan hingga ke anak cucu dan apalagi jika diraih dengan cara yang tidak benar, misalnya melalui jasa perdukunan (pemakaian "susuk ", " pemanis " atau " guna - guna ") Kalau demikian halnya, untuk apakah hidup berdampingan jika kebahagiaan jauh keberadaannya…? Bukankah setiap orang selalu mendambakan kebahagiaan…? Bagi pasangan yang mendambakan kebahagiaan yang sesungguhnya, Sang Buddha menyabdakan bahwa terdapat empat syarat yang harus dipenuhi.
    Pertama : milikilah samma saddha : keyakinan yang sama " Jika:
    1. Yakin bahwa setiap perbuatan (baik /jahat), pasti akan berdampak negatif maupun positif bagi si pembuat.
    2. Yakin bahwa ketidak kekalan, pasti akan dialami oleh setiap makhluk.
    3. Yakin bahwa kebahagiaan maupun penderitaan, sumber utamanya adalah diri sendiri .
    4. Yakin bahwa Triratna (Buddha, Dhamma dan Sangha) adalah tiga permata mulia, yang merupakan acuan, untuk mencapai pantai seberang NIBBANA/ NIRWANA dan seterusnya… maka milikilah pasangan yang demikian, agar jalur kehidupan yang dilalui, tidak saling bertentangan.
    Kedua : milikilah " samma sila : moral yang sama baik". Kalau pada dasarnya, kita memiliki sifat yang selalu berusaha, untuk menghindari pembunuhan, pencurian, perzinahan, pendustaan dan memakan/ meminum yang menyebabkan, hilangnya kesadaran (bermabuk-mabukkan), maka carilah pasangan yang penuh dengan cinta kasih, jujur, setia,lemah lembut tutur katanya dan senantiasa mawas diri.
    Ketiga : milikilah " samma caga : keluhuran budi yang sama". Di kala kita berkenan melepaskan beban derita makhluk lain, hendaknya dia pun menyokong niat mulia ini. Dikala kita beraktivitas sosial, hendaknya dia pun ikut berpartisipasi dan seterusnya.
    Keempat : milikilah " samma panna : kebijaksanaan yang sama ". Di dalam tutur kata dan tindakan, hendaknya sama sama tidak merugikan, pihak manapun juga.
    Dengan dimilikinya ke empat (berkeyakinan, bermoral, berkeluhuran budi dan berkebijaksanaan yang sama) persamaan ini, maka pasangan (jodoh) yang dijumpai adalah yang abadi, di kehidupan ini maupun mendatang akan senantiasa bersama. Apakah dalam hal ini, jasa perdukunan masih dibutuhkan…?
  2. Masalah Materi
    Memang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa di era yang serba materialistis ini, semua kedudukan dan ada kalanya kehormatan seseorang, ditakar atau diukur dari jumlah meteri yang dimiliki. Tetapi apakah materi yang berlimpah ruah, akan menjamin kebahagiaan bagi si pemilik……? Fakta telah membuktikan bahwa sejumlah hartawan yang hartanya ada dimana-mana , hidupnya berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan, misalnya ketakutan, stress dan bahkan ada yang melakukan bunuh diri agar terlepas dari cengkraman problema problema kehidupan ini. Bagi yang berpengertian benar, harta materi hanya dimanfaatkan sebatas sarana, untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik bagi diri sendiri maupun makhluk lain yang membutuhkan uluran tangannya. Materi yang diraih dengan jalur yang benar, penuh dengan semangat dan kesabaran serta tanpa menimbulkan penderitaan bagi makhluk lain, juga merupakan salah satu modal awal, untuk dinikmatinya dengan penuh kebahagiaan. Oleh Sang Buddha ditekankan bahwa kelebihan materi yang berhasil diraih juga bisa dijadikan motivasi awal, untuk meraih kebahagiaan apabila diperoleh dengan cara yang benar serta tidak melanggar kesilaan. Akan adakah manfaatnya, jika kelebihan materi yang berlimpah ruah ini, mengisi kehidupan dengan segala perasaan yang tidak menentu, misalnya: " was was, takut, kecewa dan cemas"? Dan dapatkah dalam hal ini jasa pedukunan membuat orang menjadi kaya bagaikan mie yang serba " instant : segera "….? Kalau dapat, mengapa realitanya para dukun, kebanyakan dijumpai masih berada dalam kondisi melarat (miskin), sedangkan disisi yang sebaliknya, kelebihan materi adalah dambaan setiap orang….? Adakah dukun yang mengharamkan kekayaan materi bagi dirinya ….? Bukankah ini suatu hal yang cukup ironis….? Sesuai dengan konsep hukum karma yang diajarkan oleh Sang Buddha, sesuai dengan apa yang ditanam maka itulah yang akan dipetik. Jika jagung yang ditanam maka jagung pulalah yang akan dipanen dan tidaklah mungkin tomat dan sebaliknya. Dan jika sering berdana dalam bentuk materi maka akan terlimpahi dengan kelebihan - kelebihan meteri. Mengapa pula harus gelisah dan takut, untuk menghadapi masa mendatang, bukankah kitalah penentuannya….? Ingin kaya, maka rutinlah berdana dalam bentuk materi !, itulah satu satunya cara yg terlogis, yang seharusnya diterapkan agar terbebas dari dampak negatif yg tidak diharapkan.
  3. Masalah Penyakit
    Yang namanya makhluk hidup adalah ladang yang tersubur, untuk diserang oleh bibit bibit penyakit. Kalau berdasarkan " diagnosa " dokter disimpulkan bahwa kita menderita sakit A, B atau C, maka alangkah bijaksananya, sesegera mungkin membeli obat - obatan yang telah diresepkan . Tetapi pada kenyataannya, masih ada juga yang telah berobat ke dokter, masih menjumpai dukun untuk memohon penyembuhan. Alhasil apa yang didapatnya….? Umumnya adalah kekecewaan dan diluar dari yang dikehendaki.
    Di alam pemikiran yang logis, apakah mungkin dengan hanya mengumandangkan sejumlah kalimat, yang menurut empunya memiliki kekuatan gaib dan ampuh, serta bisa menyembuhkan beragam penyakit..? Kalau benar adanya, ngapain lagi seseorang mengikuti kuliah yang lamanya, bisa saja puluhan tahun, untuk mengambil spesialis ini dan itu…? Sering dijumpai, kasus yang seharusnya bisa diselamat,eeeeh akhirnya menjadi tamat (mati) karena tidak meyakini, akan hasil diagnosa dokter. Dibawah ini terdapat sebuah kisah nyata, yang pernah terjadi pada seorang usahawan yang cukup sukses. Suatu hari, usahawan tersebut mengeluh kesakitan, di sekitar sebelah kiri dadanya bagaikan ditusuk jarum halus. Setelah di diagnosa oleh seorang dokter spesialis jantung (cardiologist) maka disimpulkan bahwa dia menderita "angina pectoris: penyumbatan pembuluh darah jantung " dan disarankan agar sesegera mungkin, menjalani " coronary bypass : operasi jantung " dan jika tidak, maka kemungkinan hidup hanya 50 % saja. Usahawan yang termasuk kaum "behave : beruang " ini, , bukannya mengikuti nasehat dokter, malahan mencari dukun. Setelah dikonsultasikan dengan Sang dukun maka disimpulkan bahwa bedah jantung tidaklah diperlukan dan semua keluhan yang dirasakan, tidak lain penyebab utamanya adalah gangguan dari makhluk halus. Setelah dijampi jampi dengan sejumlah kalimat yang sukar sekali dimengerti, si usahawan dinyatakan sembuh. Sebulan kemudian, si usahawan diberitakan meninggal mendadak akibat dari penyumbatan di pembuluh darah jantung. Dan masih banyak lagi kisah kisah nyata, yang tidak sepantasnya terjadi, eeeeh malahan terjadi….Siapakah yang bodoh dalam hal ini…….? Sang Buddha kalau sakit tetap makan obat, mengapa kita sebagai siswanya mau dipengaruhi untuk mempercayai sesuatu yang tak seyogyanya diyakini…..? Inilah yang namanya "moha : kebodohan" !
  4. Masalah Kegagalan, Kekuasaan dan Masa Depan
    Kegagalan….. siapa sich yang tidak pernah mengalaminya…? Berawal dari belajar merangkak, berjalan dan berlari, rasanya sudah tak terhitung lagi, kita mengalami jatuh bangun…? Demikian juga halnya, dikala ingin meraih juara satu, tetapi kenyataannya, jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Setelah dewasa, begitu berkeinginan memikat si A, ternyata sudah di booking orang (ada yang punya) dan seterusnya. Berdasarkan pada pengalaman ini, haruskah kita mencari jalan pintas, dengan menggunakan jasa perdukunan agar terbebas dari kegagalan…..? Begitu pula halnya dengan kekuasaan, siapapun pasti mendambakannya. Tetapi jika diraih dengan jalur yang tidak benar, akankah bermanfaat..? Bukankah, alangkah nikmatnya hidup ini jika kita selalu disegani daripada ditakuti…? Dan sudah merupakan hukum alamnya bahwa jika kita disegani maka akan menimbulkan rasa enggan dan simpati, dan tiada niat jahat dari pihak manapun juga, untuk mau menyakiti dan apalagi mencederai diri kita. Tetapi jika kita selalu ditakuti oleh orang lain maka konsekwensinya adalah bersiap sedialah 24 jam non-stop, menyewa seorang tukang pukul agar hidup ini bisa berjalan normal dan selamat. Pada umumnya, unsur ketakutan bisa muncul kepermukaan karena adanya perasaan yang tertekan oleh kekuasaan yang otoriter/diktator, tetapi rasa segan/kagum bisa muncul (timbul) karena adanya rasa simpati yang mendalam disertai oleh unsur kelembutan serta keluwesan. Selanjutnya, berbicara mengenai masa depan…apakah perlu dirisaukan…? Sesuai dengan konsep hukum karma bahwa keberadaan atau kondisi yang dimiliki/dirasakan hari ini, tidaklah terlepas daripada timbunan perbuatan perbuatan yang telah diperbuat. Kalau ingin (mengharapkan) kondisi masa depan yang lebih bahagia dan sejahtera maka kuncinya hanya satu yaitu dengan menimbun kebajikan sebanyak banyaknya.

Berikan yang Terbaik

Di dunia ini, sulit mencari orang yang menginginkan sesuatu yang buruk. Semua orang pasti menginginkan yang terbaik. Sesuatu itu, baik berupa barang, pelayanan, penghormatan, dan nasihat serta segala macam keperluan lainnya. Sayangnya, tidak jarang segala sesuatu yang terbaik —yang diinginkan oleh setiap orang tersebut— tidak kunjung tiba. Sebaliknya hal-hal yang buruk, bahkan yang paling buruk menurut anggapan kita, yang kita terima.

Di samping kesulitan mencari yang terbaik —menurut anggapan kita sendiri yang batasannya tidak sama— juga ada jenis kesulitan lainnya. Sangat sulit mencari orang yang mampu memberikan sesuatu yang terbaik. Demikianlah, mendapatkan yang terbaik dan memberikan yang terbaik kepada orang lain merupakan dua hal yang sulit dicari.

Manusia yang memiliki sifat serakah (lobha) menyebabkan mereka tidak akan pernah merasa cukup dan merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki. Semua orang hanya menginginkan yang terbaik dari orang lain, tetapi tidak pernah mau memberikan yang terbaik kepada orang lain sesuai dengan kebutuhan orang itu.

Apabila tindakan di atas kita lalaikan, maka sulit untuk mendapatkan hal yang terbaik, yang kita inginkan. Kita selalu merasa kurang dan tidak mengerti apa yang sesungguhnya yang terbaik, yang kita miliki.

Bagaimana mungkin kita dapat memberikan sesuatu yang terbaik kepada orang lain jika kita tidak tahu sesuatu yang baik,yang kita miliki. Kita tidak bisa memberi kepada orang lain jika kita tetap merasa selalu kekurangan.

Sebaliknya, jika kita memberikan yang terbaik untuk orang lain, apakah sesuatu yang terbaik yang dapat kita berikan? Apakah kita memiliki hal yang terbaik tersebut? Apakah kita tahu sesuatu yang baik itu?

Jawabannya tergantung pada kita masing-masing. Karena ada orang yang memiliki sesuatu yang terbaik tetapi dia sendiri tidak mengetahuinya dan tidak mampu memberikannya. Hal ini disebabkan karena kemelekatan orang itu sendiri.

Semua orang boleh saja berkata;

"Apa yang bisa saya berikan? Saya orang miskin, tidak punya apa-apa, kaum papa, orang bodoh, dan selalu kalah. Tidak ada yang bisa saya berikan".

Ucapan yang demikian seharusnya tidak perlu muncul karena akan mengembangkan rasa rendah diri, merasa pesimis. Ucapan seperti ini sama sekali tidak pantas, tidak sesuai.

Kita boleh mengaku sebagai orang yang miskin, tidak punya, kaum papa, orang bodoh, orang yang selalu kalah atau yang lainnya. Tetapi di balik semuanya itu, sesungguhnya masih banyak yang bisa kita berikan sebagai pemberian yang terbaik, asal kita melihat dan mengerti cara memberikannya.

Kita tidak punya materi, tetapi kita masih memiliki yang lainnya. Kita dapat memberikan pikiran yang baik, yang tidak diliputi keserakahan dan kebencian. Kita bisa memberikan nasihat, petunjuk, saran-saran, anjuran, dan yang sejenis. Inilah pemberian yang terbaik yang mampu kita berikan.

Apakah perbuatan yang telah kita lakukan kepada orang lain tersebut akan dibalas dengan kebaikan atau tidak? Ini merupakan masalah yang sering menjadi dilema.

Janganlah mengharapkan balasan, pamrih atau akibat yang akan diterima terlebih dahulu. Jika dibalas dengan kebaikan, terimalah sebagaimana adanya. Jika dibalas dengan perhuatan buruk, itupun kita terima dengan tangan terbuka, juga tidak menjadi masalah. Semuanya tidak kita harapkan sebelumnya.

Bila kita memiliki sesuatu yang terbaik dan memberikan yang terbaik kepada orang lain, mengapa harus menuntut balasan yang terbaik? Perbuatan ini telah menunjukkan sifat manusia yang serakah, tidak ikhlas dalam membantu orang lain karena mengharapkan balasan. Apakah kita tidak mau disebut sebagai manusia serakah? Tentu saja, tidak!

Tanpa dimintapun, bila perbuatan baik pasti akan mendatangkan kebahagiaan dan perbuatan buruk akan menghadirkan penderitaan. Ini sudah merupakan hukum alam yang abadi, berlaku kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja; tanpa memandang segala macam perbedaan yang ada.

Dengan kenyataan tersebut, sudah seharusnya kita memberikan sesuatu yang terbaik kepada setiap orang yang sesungguhnya juga dibutuhkan oleh semua orang. Kalau orang bisa melakukan, maka dia akan mengerti bahwa ada sesuatu yang terbaik di dalam dirinya.

Sesuatu hal yang mustahil jika seseorang dapat memberikan sesuatu yang terbaik kepada orang lain tanpa memiliki yang terbaik di dalam dirinya. Dengan memberikan yang terbaik kepada orang lain, orang dapat mengikis keserakahan yang ada di dalam dirinya sendiri.

Dengan memberikan yang terbaik, kita akan merasa bahagia walaupun pemberian tersebut bukan berupa materi. Kita akan memiliki sahabat yang banyak, tidak ada perasaan cemas, takut, khawatir, dan prasangka buruk yang lainnya. Kehidupan kita akan penuh dengan kedamaian, ketentraman, kebahagiaan dan kesejahteraan.

Ini semua adalah akibat dari perbuatan baik yang kita praktikkan dalam kehidupan ini. Apalagi jika telah menyadari kebenaran Hukum Kamma yang telah ditunjukkan oleh Sang Buddha —Guru Agung junjungan kita— sejak 2500 tahun yang silam, tentunya kita semua tidak ingin mendapatkan hal-hal yang buruk di masa yang akan datang.

Kita semua mengharapkan segala sesuatunya lebih baik dari hari ini. Jika kita ingin yang baik di masa yang akan datang, marilah kita menanam perbuatan baik terlebih dahulu di masa sekarang. Jangan hanya berharap tapi tanpa pernah menanam. Tidak ada buah yang akan dipetik tanpa bibit yang ditanam.

Siapkan diri anda untuk menanam (memberikan) yang terbaik kepada orang lain dan anda pasti akan menerima yang terbaik di masa yang akan datang? Apakah anda sudah siap sekarang.

Kajian Ilmiah, Sembuh lewat Meditasi

Sekarang ada banyak ditulis soal penyembuhan lewat meditasi . Gangguan berbagai penyakit , dari sekedar pusing sampai lumpuh bisa sembuh dengan meditasi ( ada beberapa pengakuan kesembuhan yang saya baca dari koran ). Sepengetahuan saya , bukankah meditasi hanya pengaturan napas dan menenangkan pikiran ? Sejauh apa meditasi bisa menyembuhkan ? Bagaimana peranan obat dalam penyembuhan lewat meditasi ?

Meditasi telah dilakukan untuk meningkatkan kesehatan sejak 3 abad yang lalu . Secara ilmiah , kajian manfaat meditasi telah banyak dilakukan dalam bidang kedokteran , khususnya Kedokteran Naturopati pada sub spesialisasi Kedokteran Energi atau yang lebih dikenal sebagai vibrational medicine .

Meditasi bukan sekadar aktivitas menenangkan diri atau mengusir stres . Tidak juga sekadar proses pengaturan napas . Memang , proses meditasi adalah mengatur napas , yaitu menghirup dan menghembuskan perlahan-lahan. Ini untuk memfokuskan perhatian dan menenangkan ritme detak jantung individu yang bersangkutan .

Secara ilmiah , efek meditasi terhadap organ tubuh sudah dibuktikan oleh Itzhak Bentow yang menggunakan alat perekam ballistocardiograph. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meditasi mampu mengaktifkan gelombang saraf dalam otak. Peningkatan gelombang saraf tersebut akan meningkatkan pula koordinasi hemisfer kanan dan kiri otak. Dengan koordinasi yang baik, kanan dan kiri, maka kontrol sistem saraf otonom akan makin baik pula. Membaiknya kontrol sistem saraf otonom akan memperbaiki sistem regulasi fungsi jantung, temperatur tubuh, aliran darah, dan oksigenasi sel serta jaringan tubuh .

Lebih detail, manfaat meditasi dalam kedokteran vibrational dikenal sebagai physio kundalini mechanism. Mekanismenya dimulai dari kumpulan energi yang membentuk tubuh manusia sehingga mampu menjalankan fungsi dan kerja setiap sel, jaringan, dan organ tubuh .

Di dalam tubuh manusia terdapat berbagai macam energi, misalnya energi metabolik, energi bioelektrikal, energi biophoton ( komunikasi antar sel ), energi magnetik ( koordinasi antar organ), energi eterik yang biasa dikenal sebagai basic life energy ( energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ), energi astral ( emosional dan intelektual ), dan lain-lain.

Berdasarkan teori ini meditasi akan meningkatkan vibrasi dan pulsasi seluruh energi tubuh yang berefek pada meningkatkan resonansi jantung dan aorta ( pembuluh darah besar yang membawa darah dari jantung ). Resonansi dan vibrasi energi akan menstimulasi sistem saraf cranial ( yaitu 12 pasang sistem saraf yang berhubungan erat dengan fungsi otak ). Aktifnya 12 pasang sistem saraf membuat ventrikel otak bekerja optimal yaitu menghasilkan rangsangan mekano-elektrik pada sistem cortex-sensory di otak. Akibatnya aliran neurotransmitter lebih lancar, yang akan melepaskan aktivitas sensorimotor. Aktivitas sensorimotor yang baik akan meningkatkan fungsi dan kerja seluruh organ atau sistem tubuh. Efeknya, regenerasi sel dan jaringan tubuh akan berlangsung secara optimal.

Penelitian lain menunjukkan bahwa meditasi akan menimbulkan perubahan bertahap pada tingkat energi basal yang berfungsi membentuk stem sel ( sel cikal bakal dari seluruh sel tubuh ). Dengan baiknya pembentukan stem sel maka sel atau jaringan yang mati atau rusak dapat segera diganti sebelum menimbulkan masalah .

Di negara maju seperti Amerika atau Eropa Barat, cara meditasi telah banyak digunakan sebagai upaya untuk melengkapi pengobatan medis. Dalam beberapa laporan ilmiah, terlihat bahwa meditasi sangat penting untuk mengatasi berbagai macam penyakit degeneratif seperti jantung koroner, tekanan darah tinggi, kanker, rematik, alergi sampai asma, depresi, kecemasan, kecanduan obat, gangguan metabolisme dan sebagainya. (N)

Dr. Amarullah H. Siregar , DIHom , DNMed , MSc , PhD.

Dokter ahli naturopati. Menangani kasus secara holistic dengan pendekatan ilmu naturopati (misal suplemen, fitofarmaka, herba, homeopati, pola aktivitas ).

Buddha Dharma Dan Kecantikan

Sudah menjadi kodrat bahwa setiap orang suka akan kecantikan. Karena realitas dalam diri manusia dan juga masyarakat adalah senang akan kecantikan. Wanita yang cantik disukai pria, diburu periklanan, dijadikan bintang sinteron, dan wanita akan selalu merasa dan mengusahakan agar dirinya senantiasa menjadi cantik.

Tetapi apakah sesungguhnya kecantikan itu? Mengapa pria memburu wanita yang cantik dan kerap bertekuk lutut di kerling matanya? Mengapakah wanita mengusahakan kecantikan dirinya, tidakkah mereka itu korban dari stereotipe, citra, mitos, ideal, atau definisi kecantikan yang dikonsepsikan justru bukan oleh kaumnya sendiri, melainkan entah itu oleh masyarakat, budaya, ideologi kaum patriarkhi (lelaki), pedagang, atau industri kapitalis.

Benarkah kecantikan itu ada secara kodrati, obyektif, dan universal; atau kecantikan itu relatif, subyektif, dan hasil konstruksi sosial semata? Apakah kecantikan hanya sebatas kulit, atau lebih dari sebatas permukaan kulit, namun jauh menjangkau lebih dalam lagi (inner beauty) yang menyelusup sampai kepada kepribadian dan intelegensia?

Konstruksi Kecantikan

Apakah cantik? Pertanyaan sederhana ini sulit jawabnya. Setiap orang -atau juga sekelompok orang- punya definisi sendiri tentang cantik. Yang pasti, industri kecantikan tumbuh subur dengan memanfaatkan kebutuhan orang untuk tampil cantik. Dalam situasi krisis ekonomi seperti sekarangpun, urusan untuk tampil cantik, cantik fisik yang ikut mendongkrak rasa percaya diri tetap saja tidak kunjung surut.

Memang kecantikan selalu dikejar wanita dan menjadi problem psikologis banyak wanita yang kurang percaya diri. Hal ini terjadi karena kecantikan tidak lepas dari konstruksi sosial. Majalah, film, televisi, dan periklanan, sering menyajikan perempuan dengan bentuk tubuh yang dikonstruksikan ideal, karenanya Industri kecantikan seperti pelangsingan tubuh dan perawatan awet muda tumbuh menjadi industri milyaran dollar.

Kecantikan tampaknya relatif, karena tiap masyarakat punya definisinya tentang cantik. Tubuh yang subur pernah menjadi citra kecantikan wanita Jawa seperti tampak pada relief candi Borobudur, begitu pula masyarakat Fiji di Pasifik. Para perempuan suku Dayak di Kalimantan mengenakan anting-anting yang makin banyak jumlahnya. Sampai paruh pertama abad 20, perempuan di Cina yang kakinya kecil dianggap cantik.

Sepanjang peradaban manusia, apa yang disebut cantik selalu berubah menurut apa yang dikonstruksikan oleh masyarakat itu. Pandangan tentang cantik berubah bersama perkembangan teknologi. Di Barat, semenjak Revolusi Industri terjadi perubahan konsep kecantikan. Dimulainya era industrialisasi membuat banyak perempuan bekerja di luar rumah dan independen secara material.

Keadaan ini, seperti yang diungkapkan Naomi Wolf, aktivis gerakan perempuan dalam bukunya The Beauty Myth, mendorong perempuan membelanjakan uangnya, menjadi konsumen demi kecantikan yang sejalan dengan penciptaan mitos cantik secara massal oleh kaum industri kapitalis; seperti misalnya: tubuh yang ramping cenderung kurus, muka cantik, bersih, dan kulit kencang.

Karena mitos dan kriteria cantik itu, banyak wanita tergoda terhadap tawaran paket mempercantik diri yang kini banyak bertebaran. Mulai dari melangsingkan tubuh, memutihkan kulit, mentato alis mata, membentuk bokong atau payudara, membuat lesung pipit, sampai mendandani "organ paling intim". Paha, pinggul, lengan, dan perut adalah tidak bagus kalau terlihat gemuk sehingga ada paket sedot lemak untuk merampingkannya. Tampaknya di mata bengkel kecantikan, selalu ada saja bagian tubuh yang dianggap tidak indah, dari ujung rambut hingga ujung kaki sampai bagian terdalam.

Citra kecantikan dikonstruksikan oleh kaum industri kapitalis kecantikan seperti yang ditawarkan iklan dalam media massa. Padahal menurut Wendy Chapkins dalam Beauty Secrets, Women and the Politics of Appearance (1986), kecantikan seperti yang ditawarkan itu akan mengubah bentuk wajah dan tubuh seseorang menjadi apa yang ingin dicitrakan suatu merk kosmetika atau suatu program kecantikan.

Banyak orang mengejar citra cantik seperti yang telah dikonstruksikan secara sosial, agar tetap terlihat muda, kulit yang kenyal dan halus seperti bayi, khususnya para wanita separuh baya. Padahal usia tetap merambat dan sebenarnya tidak ada yang dapat melawan hukum alam anicca bahwa tidak ada yang kekal di dunia, semua akan menjadi tua dan mati.

"Jika bumi, gunung semeru, dan samudra hancur oleh kobaran api dari tujuh matahari, dan tak ada sebutir debupun yang tersisa, lalu kenapa berpikir bahwa manusia yang begitu lemah adalah abadi?" (Nagarjuna dalam Suhrleka).

"Akhir yang pasti dari tubuh adalah berubah menjadi debu, mengering, dan membusuk; dan adalah tumpukan tulang kotor yang tidak memiliki apa-apa, organ-organ tubuh akan rusak dan membusuk. Ketahuilah bahwa tubuh memiliki sifat akan terurai." (Nagarjuna dalam Suhrleka).

Dewasa ini, kecantikan yang dicitrakan dan dikonstruksikan secara sosial itu berkaitan dengan modus ekonomi. Padahal mungkin saja kecantikan memang terletak pada mata orang yang melihat dan subyektif sifatnya. Kita menyebut sesuatu cantik, indah, atau bagus, bila hal itu menyukakan atau menyenangkan kita dengan cara tertentu. Apa yang menyenangkan seseorang tidak berarti juga menyenangkan orang lain. Itulah sebabnya kadang-kadang dikatakan bahwa kecantikan itu hanya ada pada orang yang melihat.

Tetapi mengapakah kecantikan bisa juga dikatakan untuk orang yang sama, dan banyak orang memburu wanita-wanita yang dikatakan cantik. Selain subyektif, tidakkah ada nilai yang obyektif sehingga banyak orang dapat mengatakan bahwa dia itu, entah Lady Di almh., Paramita Rusady, Dessy Ratnasari, Megawati, Hartati Murdaya, Julia Roberts, atau Kwan Ce Lin memang cantik.

Thomas Aquinas (1225-1274) dan Immanuel Kant (1724-1804) mengajarkan kita bahwa keindahan seperti kecantikan misalnya mengandung aspek subyektif dan obyektif. Kenikmatan estetis yang diberikan obyek-obyek tertentu kepada pengamat (subyek) bersangkutan dengan nilai-nilai intrinsik yang ada dalam obyek itu sendiri. Jadi selain memang orang itu cantik, subyektifitas seseorang juga menentukan. Bagi suami, istrinya tentulah dianggap cantik.

Kecantikan Luar

Memang ada yang bilang kecantikan itu relatif, namun ada juga yang memberikan ukuran bahwa kecantikan merupakan perpaduan harmoni, keseimbangan, dan keselarasan. Ada kecantikan luar (outer beauty) yang menyangkut fisik, seperti kulit, wajah, dan bentuk; tetapi yang lebih penting lagi adalah kecantikan dalam (inner beauty) yang berhubungan dengan seluruh kepribadian dan dimensi psikis-rohani dan lebih abadi sifatnya.

Kendati begitu, baik kecantikan luar (outer beauty) maupun kecantikan dalam (inner beauty) memiliki nilainya sendiri dan tidak perlu diabaikan, karena keseluruhan kecantikan wanita terletak pada sifatnya yang tidak terduga. Wanita adalah makhluk yang kaya akan dimensi. Karena itu wanita sudah sewajarnya merawat dan memperhatikan tubuhnya, memiliki kosmetik atau melakukan perawatan kecantikan sekedarnya agar dapat muncul semua kepribadian dan kecantikan dalamnya.

Kecantikan luar memang lebih langsung menonjol dan tampak, misalnya pada wajah, paras, bentuk, dan kulit. Karenanya, kulit, terutama kulit wajah banyak yang memperlakukannya bagaikan sebuah tanaman: perlu dipelihara, disiram, diberi pupuk supaya subur, dengan cara memakai kosmetik atau pergi ke klinik bedah kosmetik. Banyak wanita mengusahakan kecantikan dirinya dengan tidak sewajarnya melalui berbagai cara, bahkan pergi ke paranormal, orang pintar, dukun, dan sebagainya untuk pemasangan susuk agar dirinya terlihat cantik dan suaminya tidak pernah meninggalkannya.

Tetapi darimanakah asal usul sebab musababnya seseorang itu cantik, cantik sejak lahirnya, cantik meski dibungkus oleh pakaian yang butut atau tidak terhias aksesoris perhiasan. Tidak hanya cantik, mungkin juga disertai kepintaran dan berada dalam keluarga yang kaya. Sedangkan sebaliknya, ada mereka yang miskin, tidak cantik, atau tidak cerdas. Atau ada yang cantik, cerdas, tetapi miskin; dan kaya, bodoh, tetapi cantik.

Mallika seorang perempuan miskin bersahaja dan tidak menarik pernah bertanya kepada Sang Buddha, apa sebabnya ada wanita yang buruk rupa, miskin, tanpa wibawa dan pengaruh? Ada pula wanita yang buruk rupa, tetapi kaya raya, sangat berwibawa dan berpengaruh. Ada wanita yang cantik, tetapi miskin, tanpa wibawa dan pengaruh. Lainnya wanita yang cantik, sekaligus kaya, berwibawa dan berpengaruh.

Menurut Sang Buddha, perbuatan wanita dalam kehidupan di masa lalu itulah yang menentukan, misalnya cepat marah menghasilkan wajah yang buruk, dan sifatnya yang kikir mengakibatkan kemiskinan dalam kehidupan berikutnya. (Anguttara Nikaya IV, 20 :197)

Kecantikan merupakan pahala dari perbuatan baik dan kemurahan hati dalam kehidupan sebelumnya. "Wajah yang cantik, suara yang merdu, kegantengan, dan kebijaksanaan, kekuasaan, serta mempunyai banyak pengikut, semua ini dapat diperoleh sebagai pahala perbuatan baik." (Nidhikhanda Sutta)

Memang, kulit yang halus dan sehat adalah dambaan setiap wanita. Bukan apa-apa, kulit adalah bagian tubuh yang langsung terlihat, sehingga setiap kejanggalan pada kulit akan menarik perhatian. Dalam pergaulan, hal itu akan membuat seseorang merasa kurang percaya diri. Di samping kulit yang halus, sebagian wanita juga mendambakan kulit yang cerah.

Tetapi, kulit setiap orang itu memang tidak sama. Dan itu dapat disebabkan karena faktor internal seperti ras, keturunan, dan genetik, maupun faktor eksternal yang meliputi kebiasaan seseorang, misalnya merokok, terbakar sinar matahari (ultraviolet), minum obat antibiotik, maupun akibat pemakaian kosmetik secara berlebihan.

Memang kulit merupakan etalase kecantikan fisik. Bahkan Sang Buddha sendiri dalam rangka untuk menyadari kerelatifan kecantikan, ketidakkekalan tubuh yang bagaimanapun moleknya dan agar tidak melekat terhadap kecantikan yang hanya bentuk luar itu, melukiskan kecantikan fisik itu tidak lebih hanya sebatas kulit.

"Dilihat dari sudut pandang yang berbeda, kemolekan tubuh seorang wanita adalah tidak murni, punya sembilan lubang, seperti bejana bau busuk dan sulit diisi; dan dari sudut pandang lainnya sebuah selubung kulit yang dihiasi." (Nagarjuna dalam Suhrleka).

Ratthapala, seorang murid Sang Buddha melukiskan wanita (penggoda) sebagai berikut: "Lihatlah tubuh itu khayali, membalut seperangkat rangka, penuh luka, berpenyakit, dan menuntut banyak pikiran. Baginya tiada yang pernah tetap, tiada abadi. Lihatlah wujud khayali, walaupun dalam pakaian gemerlap, dengan cincin dan perhiasan, tulang belulang bersarungkan kulit. Kuku diwarnai cat, wajah dipulas bedak, cukup memperdaya si dungu, namun tidak bagi pencari kekekalan. (Majjhima Nikaya 82)

Bila Buddha mengingatkan bahwa kecantikan fisik itu hanyalah sebatas kulit, dan tidaklah perlu tergantung atau melekat kepadanya, maka filsuf Yunani Plato mengungkapkan bahwa kecantikan tidak pernah menempel pada sesuatu yang berdaging; karena itu sia-sialah semua upaya manusia untuk mempertahankan kecantikannya. Kecantikan Platonik yang memuja keabadian ini mengingatkan bahwa kecantikan adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat bentuknya dari wajah, kaki, tangan, tubuh, dan dari segala sesuatu yang berdaging.

Kecantikan Dalam

Sesungguhnya mereka yang memang cantik tak perlu kuatir terhadap aksesoris luar tubuhnya. Pakaian yang indah belum tentu bisa mengangkat rupa seseorang yang memang tidak cantik. Mengapa mesti menyembunyikan bentuk tubuh yang tidak indah di balik pakaian yang mewah. Cinderella, biarpun pakaiannya butut tetap saja tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Akhirnya diketahui dan dipersunting pangeran. Akan tetapi, orang cantik yang suka berteriak-teriak, memaki-maki, berperilaku buruk; maka ia sama sekali tidak cantik di dalamnya.

Kecantikan itu yang penting dari dalam. Tidak usah grogi ketika usia bertambah dan kulit wajah mulai berkerut. Kecantikan abadi itu muncul dari dalam diri, dari hati dan pikiran yang tenang. Bukankah usia tak dapat mencegah pudarnya kecantikan. Tetapi, apa yang dihimpun, dipupuk dalam rohani akan menambah kekuatan, kekayaan, dan bahkan juga bisa menambah kemudaan dan kecantikan. Kecantikan dalam ini (inner beauty), sebagaimana ungkap Plato, tidak pernah menempel pada sesuatu yang berdaging. Karena itu, sia-sialah semua upaya manusia untuk mempertahankan kecantikannya. Menurut Plato, kecantikan dalam itu tidak pernah datang dan tidak pernah pergi, tidak pernah berkembang dan tidak pernah layu, sesuatu yang dalam pandangan siapiapun sama (tetap cantik), di manapun, sekarang dan sampai kapanpun.

Karena itu, bila kemudaan kulit telah memudar seiring dengan bertambahnya usia, mereka yang bijaksana tentu tidak harus cemas dan takut. Justru dengan menjadi tua dan rohani terisi, seseorang akan bertambah matang dan bijaksana.

Keriput yang muncul merupakan warna-warni pelangi hukum anicca yang tidak bisa dihindari, ibarat garis-garis senyuman (smile lines) cermin dari kematangan dan kebijaksanaan. Anggukan kepala, senyuman, dan tatapan matanya bagaikan sinar matahari yang mencerahkan dan menentramkan bagi anak cucu yang datang bersimpuh menanti belaiannya. Karena itu, mengapa harus takut menjadi tua?

Sang Buddha mengatakan bahwa kecantikan adalah hasil dari perbuatan baik dan kemurahan hati. Sejalan dengan itu, maka resep untuk menjadi cantik di bawah ini (dimuat dalam Kompas, 7 Mei 2000) kiranya sangat bermanfaat dan patut dilakukan.

"Untuk mendapatkan bibir yang menawan, ucapkanlah kata-kata kebaikan; untuk mendapatkan mata yang indah, carilah kebaikan pada diri setiap orang; untuk mendapatkan bentuk badan yang langsing, berbagilah makanan dengan mereka yang kelaparan...

Untuk mendapatkan tubuh yang indah, berjalanlah dengan ilmu pengetahuan... Kecantikan perempuan tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, bukan pada kehalusan wajah dan bentuk tubuhnya... tetapi pada matanya: cara ia memandang dunia, karena di matanyalah terletak gerbang menuju ke setiap hati manusia, di mana cinta dapat berkembang."

Thursday, March 15, 2012

Anak Muda dan Hantu

Pemahat kayu yang mempunyai seorang anak laki-laki. Mereka tinggal di Rajagaha. Anak

pemahat kayu ini mempunyai seorang teman yang umurnya sebaya, kedua anak itu selalu

menggunakan seluruh waktu luangnya untuk bermain bola.

Pemahat kayu ini adalah pengikut setia Sang Buddha, demikian pula anaknya. Tetapi teman

anak muda itu adalah anak seorang pertapa. Anak pemahat kayu ini selalu melatih meditasi

terhadap Sang Buddha dalam setiap tindakannya, kalau ia melempar bola ia selalu berkata :

"Terpujilah Sang Buddha!" dengan konsentrasi penuh. Tetapi temannya selalu

mengucapkan pujian terhadap para pertapa dan kalau ia melempar bola ia selalu berkata :

"Terpujilah Sang Pertapa".

Ketika mereka bermain bola, anak pemahat kayu yang setia kepada Sang Buddha selalu

menang dan sebaliknya anak pertapa itu selalu kalah. Anak pertapa itu lalu memperhatikan

kelakuan temannya, ia lalu berpikir :

"Temanku ini selalu mempraktekkan segala sesuatunya dalam bentuk meditasi, ia selalu

mengucapkan kata-kata itu bila ia melempar bola. Apa yang dia lakukan selalu lebih baik dari

pada saya. Ah, saya ingin mengikutinya." Sejak saat itu ia mulai membiasakan dirinya untuk

melatih meditasi terhadap Sang Buddha.

Pada suatu hari, si pemahat kayu menyiapkan kereta yang dihela oleh seekor sapi untuk

mengambil kayu bakar di hutan. Ia mengajak anaknya untuk ikut bersamanya. Dalam

perjalanan pulang, setelah selesai mengambil kayu bakar di hutan, di pinggir sebuah kota, ada

sebidang tanah kosong. Disana terdapat air yang dapat digunakan untuk minum, jadi ia

melepaskan sapinya untuk minum. Mereka sendiri melepaskan lelah sambil menghabiskan

perbekalan makanan mereka.

Ketika malam tiba, ternyata sapi mereka mengikuti sekawanan binatang yang memasuki

kota.

Dengan membawa keretanya, anak muda itu mencari sapinya yang hilang. Setelah

menemukan sapinya, ia hendak pulang dan keluar dari kota itu. Namun ternyata ia tidak

menemukan pintu kota. Pintu kota sudah ditutup. Karena hari sudah menjelang tengah malam

dan ia sangat lelah, akhirnya anak muda itu berbaring di bawah keretanya dan tertidurlah ia.

Pada waktu itu, penduduk Rajagaha sedang dicengkeram ketakutan karena ada beberapa

hantu yang selalu mengganggu ketentraman mereka. Tanah yang ditempati anak muda itu,

adalah tempat hantu-hantu itu berkumpul. ketika anak muda tertidur di sana, dua hantu

melihatnya. Salah satu dari hantu itu mempunyai pandangan salah dan hantu yang lain

mempunyai pandangan kolot. Hantu yang mempunyai pandangan salah itu berkata kepada

temannya :

"Orang ini mangsa kita, mari kita makan!"

Hantu kolot itu menjawab :

"Cukup! Buang jauh-jauh pikiran jelekmu itu!"

Sebaliknya, hantu yang kolot itu malah menjaga anak muda tersebut. Tetapi temannya yang

berpandangan salah tidak dapat menerima kata-katanya, ia lalu memegang kaki anak muda itu

dan mencoba untuk melemparkannya.

Sebagaimana latihan meditasi yang selalu dipraktekkannya, ketika kakinya dipegang, anak

muda itupun berteriak :

"Terpujilah Sang Buddha"

Hantu-hantu itu amat kaget, mereka ketakutan dan mundur ke belakang. Hantu yang kolot itu

berkata :

"Kita telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak kita lakukan. Kita harus menerima

hukumannya."

Setelah berkata demikian, hantu yang kolot itu berjaga-jaga di sekitar anak muda itu. Hantu

yang lain lalu memasuki kota menuju istana. Ia mengambil piring emas raja dan memenuhinya

dengan makanan dan membawanya kembali ke tempat anak muda itu tertidur. Kedua hantu

itupun melayani anak muda tersebut. Dengan mewujudkan diri sebagai ayah dan ibunya,

mereka membangunkannya, menyediakan makanan dan menyuruhnya makan.

Dengan kekuatan gaib yang dimilikinya sebagai hantu, mereka menulis surat di atas piring

emas raja, menceritakan apa yang telah mereka lakukan dengan berkata :

"Hanya rajalah yang dapat membaca kata-kata di atas piring ini. Orang lain tidak dapat

membacanya."

Mereka meletakkan piring tersebut di dalam kereta anak muda itu, dan berjaga-jaga di

sekitar tempat itu. ketika menjelang pagi mereka pun pergi.

Pagi harinya beredar berita :

"Piring Raja hilang dicuri orang. Cari pencurinya!"

Pintu kota segera ditutup, dan para penduduk pun mencari piring itu ke pelosok kota. Tetapi

mereka tidak dapat menemukannya. Mereka terus mencari. Ke luar kota, kemana saja, dan

akhirnya piring Raja itu ditemukan di dalam kereta kayu si anak muda.

Anak muda itu ditahan, ia dituduh sebagai pencuri piring emas raja. "Inilah pencurinya!"

Mereka membawa anak muda itu ke istana, menghadap raja. Ketika raja membaca surat

yang ditulis oleh hantu di atas piring itu, ia bertanya kepada anak muda itu :

"Anakku, apa artinya ini?"

"Saya tidak tahu, Yang Mulia," jawab anak itu.

"Ibu dan ayah saya datang tadi malam. Mereka membawakan saya makanan dan berjagajaga

di sekitar saya. Saya pikir 'Ayah dan ibu saya ini pasti melindungi saya dari kejahatan,

membebaskan saya dari ketakutan', sehingga saya tertidur. Hanya itu yang saya tahu, Tuanku."

Pada saat itu pula, ayah dan ibu anak muda itu datang ke istana. Ketika Raja mendengar apa

yang telah terjadi, ia membawa ketiganya pergi bersamanya menghadap Sang Buddha, dan

menceritakan seluruh kejadian itu.

"Yang Mulia," tanya raja, "Apakah meditasi kepada Sang Buddha merupakan suatu

perlindungan? Ataukah meditasi kepada AjaranMu dan bentuk-bentuk meditasi lainnya juga

merupakan perlindungan?"

Sang Buddha menjawab :

"Yang Mulia Raja, meditasi kepada Buddha bukan hanya berarti perlindungan saja. Tetapi

siapa saja yang melatih meditasi dengan disiplin, melatih salah satu diantara Enam Bentuk

Meditasi, ia tidak lagi memerlukan perlindungan lainnya atau mencari pertahanan dari

serangan-serangan luar."

Setelah berkata demikian, Sang Buddha lalu menjelaskan Enam Bentuk Meditasi dengan

mengucapkan syair-syair ini :

"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan

malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dengan penuh kesadaran."

( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 7 )

"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan

malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Dhamma dengan penuh kesadaran."

( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 8 )

"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan

malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sangha dengan penuh kesadaran."

( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 9 )

"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan

malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat badan jasmani dengan penuh kesadaran."

( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 10 )

"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan

malam mereka bergembira dalam keadaan bebas dari kekejaman."

( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 11 )

"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan

malam mereka bergembira dalam ketentraman samadhi."

( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 12 )