.

.

Pages

Wednesday, December 07, 2011

Ratana Sutta

Ratana Sutta adalah sebuah contoh yang sangat bagus, diantara khotbah-khotbah seperti yang digambarkan diatas, yang memiliki asal mula sendiri pada masa Sang Buddha hidup di kota Vesali yang makmur. Sutta ini dianggap sebagai sebuah Sutta yang memiliki kekuatan besar dalam menolong penduduk Vesali menanggulangi bencana kelaparan, makhluk-makhluk halus jahat, dan malapetaka. Bahkan hingga sekarang, umat Buddhis di seluruh dunia memberikan penghormatan besar terhadap Sutta ini, membacanya setiap hari dan memperoleh berkah serta perlindungan darinya dalam kehidupan sehari-hari.

Sutta ini muncul pada suatu masa, ketika kota makmur Vesali berada pada suatu kondisi kemerosotan dimana penduduknya terancam oleh bencana kelaparan, makhluk-makhluk halus jahat, serta wabah penyakit. Malapetaka ini memuncak hingga banyak kematian terjadi dan diperburuk dengan para makhluk-makhluk halus jahat yang selalu menghantui karena tertarik pada mayat-mayat yang membusuk. Rasa panik menyerang kota. Pada masa kritis tersebut, dua orang bangsawan Licchavi beserta sekelompok besar pengikutnya pergi menemui Sang Buddha yang sedang berdiam di Rajagaha dengan tujuan meminta pertolongannya.


Sang Buddha, setelah mendengar dukacita dan keputusasaan mereka, dengan penuh simpati dan belas kasih menerima undangan bangsawan tersebut. Sang Buddha beserta serombongan besar Bhikkhu segera meninggalkan Rajagaha menuju Vesali. Dikatakan bahwa Yang Mulia Ananda Thera ikut dalam rombongan ini. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka akhirnya mencapai kota. Sebuah fenomena yang aneh terjadi. Turunlah hujan yang amat deras menyapu dengan bersih mayat-mayat yang telah membusuk dari kota dan menghilangkan bau udara yang tidak sedap. Kemudian Sang Buddha dengan penuh welas asih membacakan Ratana Sutta untuk penduduk kota Vesali. Yang Mulia Ananda Thera diinstruksikan untuk mengulang membaca Ratana Sutta untuk penduduk di seluruh penjuru kota Vesali. Air yang telah diberkahi kemudian dipercikkan dari mangkuk milik Sang Buddha. Oleh karena kekuatan kebahagiaan Sutta, semua makhluk halus jahat meninggalkan kota dan penduduk segera terbebas dari pengaruh jahat dan keji mereka. Berakhirlah bencana dan malapetaka pada kota tersebut.

Pemberkahan dan perlindungan yang berasal dari Ratana Sutta yang dibacakan pada masa Sang Buddha masih hidup, tetap dapat digunakan hingga saat ini. Ratana Sutta yang diuraikan oleh Sang Buddha kepada para penduduk Vesali yang sedang di Balai Umum sebenarnya telah diuraikan secara persis sebanyak tak terhingga kali oleh Buddha Buddha sebelumnya. Makna dan arti sutta ini telah dijelaskan dalam berbagai pertemuan oleh komunitas Bhikkhu pada masa ini dalam berbagai kesempatan. Umat Buddhis terus memperoleh manfaat dari pembacaan dan praktek ajaran-ajaran yang terdapat dalam Sutta ini.


Istilah Palu "Ratana" dikenal sebagai "Permata Mulia". Dikenal demikian tertuju kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Kumpulan kebajikan-kebajikan dari Tiga Mustika ini mengundang para bijaksana untuk mempratekkan ajaran sebagai sebuah alat untuk menyeberangi lautan kehidupan dan kematian, menuju pada tujuan utama, Nibbana.

Dalam Pertama Mulia termuat berbagai sifat-sifat bajik yang dapat dipratekkan para bijaksana dalam kehidupan sehari-hari mereka. Adalah melalui pengendalian nafsu pikiran hingga sampai pada gerbang ketenangseimbangan sebagai buah pikiran konsentrasi, dimana jalan kematian telah dihilangkan setahap demi setahap menghapus kepercayaan akan adanya roh yangkekal, keragu-raguan, dan kemelekatan pada ritual dan upacara, para bijaksana telah sepenuhnya terbebaskan dari empat alam menyedihkan. Makhluk bumi dan makhluk nafa diundang untuk membagikan berkah dan kebahagiaan dari Khotbah Ratana. Dikatakan bahwa Raja para dewa, Sakka, mengulang tiga syair terakhir dari Sutta tersebut dan ikut mendatangi Sang Buddha bersama para pengikutnya di Vesali pada saat khotbah penutupan terakhir yang diselenggarakan di Balai Umum.


Yānīdha bhūtāni samāgatāni,
Bhummāni vā yāni antalikkhe,
Sabbeva bhūtā sumanā bhavantu,
Athopi sakkacca sunantu bhāsitam.

Tasmā hi bhūtā nisāmetha sabbe,
Mettam karotha mānusiyā pajāya,
Divā ca ratto ca haranti ye balim,
Tasmā hi ne rakkhatha appamattā.

Yam kiñci vittam idha vā huram vā,
Saggesu vā ya ratanam panītam,
Na no samam atthi Tathāgatena,
Idampi Buddhe ratanam panitam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Khayam virāgam amatam panītam,
Yadajjhagā sakyamunī samāhito,
Na tena dhammena samatthi kiñci,
Idampi Dhamme ratanam panitam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Yam Buddha settho parivannayī sucim,
Samādhimānantarikaññamāhu,
Samādhinā tena samo na vijjati,
Idampi Dhamme ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Ye puggalā attha satam pasatthā,
Cattāri etāni yugāni honti,
Te dakkhineyyā sugatassa sāvakā,
Etesu dinnāni mahapphalāni,
Idampi Sanghe ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Ye suppayuttā manasā dalhena,
Nikkāmino *Gotama-sāsanamhi,
Te pattipattā amatam vigayha,
Laddhā mudhā nibbuti bhuñjamānā,
Idampi Sanghe ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Yathindakhīlo pathavim sito siyā,
Catubbhi vāthehi asampakampiyo,
Tathūpamam sappurisam vadāmi,
Yo ariya-saccāni avecca passati,
Idampi Sanghe ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Ye ariya-saccāni vibhāvayanti,
Gambhīra-paññena sudesitāni,
Kiñcāpi te honti bhusappamattā,
Na te bhavam atthamam ādiyanti,
Idampi Sanghe ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Sahāva ‘ssa dassana-sampadāya,
Tayassu dhammā jahitā bhavanti,
Sakkāya-ditthi vicikicchitañca,
Sīlabbatam vāpi yadatthi kiñci.
Catūh’ apāyehi ca vippamutto,
Chaccābhithānāni abhabbo kātum,
Idampi Sanghe ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Kiñca pi so kammam karoti pāpakam,
Kāyena vācā uda cetasā vā,
Abhabbo so tassa paticchādāya,
Ababbatā dittha-padassa vuttā,
Idampi Sanghe ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Vanappagumbe yathā phussitagge,
Gimhāna-māse pathamasmim gimhe,
Tathūpamam dhamma-varam adesayī,
Nibbāna-gāmim paramam hitāya,
Idampi Buddhe ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Varo varaññū varado varāharo,
Anuttaro dhamma-vara adesayī,
Idampi Buddhe ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Khīnam purānam navam natthi sambhavam,
Viratta-cittā āyatike bhavasmim,
Te khīna-bījā avirulhicchandā,
Nibbanti dhīrā yathāyam padīpo,
Idampi Sanghe ratanam panītam,
Etena saccena suvatthi hotu!

Yānīdha bhūtāni samāgatāni,
Bhummāni vā yāni va antalikkhe,
Tathāgatam deva-manussa-pūjitam,
Buddham namassāma suvatthi hotu!

Yānīdha bhūtāni samāgatāni,
Bhummāni vā yāni va antalikkhe,
Tathāgatam deva-manussa-pūjitam,
Dhammam namassāma suvatthi hotu!

Yānīdha bhūtāni samāgatāni,
Bhummāni vā yāni va antalikkhe,
Tathāgatam deva-manussa-pūjitam,
Sangham namassāma suvatthi hotu!

1. Makhluk apa pun yang berkumpul di sini, baik yang dari dunia maupun dari luar angkasa, semoga semua makhluk itu bahagia. Demikian juga, semoga mereka mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang dikatakan.

2. Karena itu, wahai para makhluk, perhatikanlah baik-baik. Pancarkanlah kasih sayang kepada umat manusia yang siang malam memberikan persembahan kepadamu. Karena itu, lindungilah mereka dengan setulus hati.

3. Harta apapun yang ada di sini atau di dunia lain, atau permata tak ternilai apa pun yang ada di alam-alam surga, tidak ada satu pun yang sebanding dengan Sang Tathagata. Permata tak ternilai ini ada di dalam Buddha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

4. Manusia bijak dari suku Sakya, yang tenang pikirannya, telah mewujudkan penghentian yang bebas dari nafsu, yang bebas dari kematian, dan luar biasa. Tidak ada sesuatu pun yang sebanding dengan keadaan itu. Permata tak ternilai ini ada di dalam Dhamma. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian !

5. Buddha yang agung memuji meditasi murni yang segera memberikan hasil. Tidak ada sesuatu pun yang sebanding dengan meditasi itu. Permata berharga ini ada di dalam Dhamma. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

6. Delapan individu yang dipuji oleh orang-orang baik2 terdiri dari empat pasang.3 Mereka adalah siswa-siswa Sang Buddha, yang pantas menerima persembahan. Apapun yang dipersembahkan kepada mereka akan memberikan buah yang melimpah. Permata tak ternilai ini ada di dalam Sangha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

7. Mereka yang terbebas dari nafsu semuanya mantap di dalam ajaran Gotama yang berpikiran teguh. Mereka telah mencapai apa yang harus dicapai karena telah menyelam ke dalam Nibbana yang bebas dari kematian. Mereka menikmati Kedamaian yang dicapai, yang tak ternilai. Permata tak ternilai ini ada di dalam Sangha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

8. Bagaikan gerbang kota yang berfondasi kokoh tidak tergoyahkan oleh angin dari empat penjuru, demikianlah kunyatakan bahwa orang yang sepenuhnya memahami Kebenaran Mulia adalah orang yang baik. Permata tak ternilai ini ada di dalam Sangha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

9. Mereka yang dengan jernih memahami Kebenaran Mulia yang telah diajarkan dengan baik oleh Yang Maha Bijaksana, betapapun tidak berhati-hatinya mereka itu, mereka tidak akan terlahir untuk kedelapan kalinya. Permata tak ternilai ini ada di dalam Sangha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

10. Tiga kondisi telah ditinggalkan oleh dia pada saat mencapai pandangan terang,4 yaitu: (i) pandangan salah tentang diri, (ii) keraguan, dan (iii) pandangan salah bahwa ritual dan upacara dapat menyelamatkan. Dia juga telah sepenuhnya terbebas dari empat keadaan menderita5 dan tidak dapat lagi melakukan enam kejahatan.6 Permata tak ternilai ini ada di dalam Sangha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian !

11. Kejahatan apa pun yang dilakukan, baik lewat tubuh, ucapan atau pikiran, tak dapat disembunyikannya. Karena telah dikatakan bahwa tindakan semacam itu tidak mungkin dilakukan oleh orang yang telah melihat Sang Jalan.7 Permata tak ternilai ini ada di dalam Sangha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

12. Bagaikan pohon-pohon yang pucuknya berbunga pada bulan-bulan pertama musim panas, begitu juga ajaran tertinggi yang menuju ke Nibbana ini diajarkan untuk tujuan tertinggi. Permata tak ternilai ini ada di dalam Sangha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

13. Yang Luar Biasa, Yang Maha Mengetahui, Sang Pemberi yang luar biasa, dan Sang Pembawa Kesempurnaan telah membabarkan ajaran yang luar biasa. Permata tak ternilai ini ada di dalam Buddha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

14. Dengan musnahnya (kamma) lampau, tidak ada (kamma) baru yang dihasilkan, maka pikiran pun tak melekat pada kelahiran di masa depan -- mereka telah menghancurkan benih-benih tumimbal lahir. Nafsu-nafsu tidak lagi muncul dan para bijaksana itu pergi, sama seperti lampu ini.8 Permata tak ternilai ini ada di dalam Sangha. Dengan kebenaran ini, semoga ada kedamaian!

15. Makhluk apa pun yang berkumpul di sini, baik yang dari dunia maupun dari luar angkasa, marilah kita menghormat Buddha. Sang Tathagata dipuja oleh para dewa dan manusia! Semoga ada kedamaian!

16. Makhluk apa pun yang berkumpul di sini, baik yang dari dunia maupun dari luar angkasa, marilah kita menghormat Dhamma. Sang Tathagata dipuja oleh para dewa dan manusia! Semoga ada kedamaian!

17. Makhluk apa pun yang berkumpul di sini, baik yang dari dunia maupun dari luar angkasa, marilah kita menghormat Sangha. Sang Tathagata, dipuja oleh para dewa dan manusia! Semoga ada kedamaian!

Karaniya Metta Sutta


Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi bersama dengan murid-muridnya, Sang Buddha memerintahkan kelima ratus orang muridnya untuk berlatih diri, bermeditasi di hutan untuk mencapai tingkat kesucian. Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju ke suatu desa yang cukup besar. Penduduk desa yang ketika mengetahui murid-murid Sang Buddha mendatangi desa mereka, segera menyambutnya dengan menyiapkan tempat untuk beristirahat, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya. Mereka lalu bertanya:
"Kemanakah Bhante akan pergi?".
Para bhikkhu itu menjawab:
"Kami akan pergi ke suatu tempat yang nyaman".
Penduduk desa itu menyarankan:
"Bhante, tinggallah di hutan di dekat desa kami ini selama tiga bulan, sehingga kami dapat mempelajari Dhamma dibawah bimbinganmu".
Para bhikkhu menyetujuinya, dan para penduduk berkata lagi:
"Bhante, di dekat desa kami ada hutan kecil, Bhante dapat tinggal di sana".
Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju hutan yang ditunjukkan penduduk desa.

Di dalam hutan itu banyak terdapat makhluk halus penghuni hutan, mereka mengetahui kedatangan para bhikkhu,
"Sekumpulan bhikkhu akan datang ke hutan ini, apabila para bhikkhu itu tinggal di sini, pasti tidak enak lagi kita berdiam di sini bersama anak dan istri".

Mereka turun dari pohon dan duduk di bawah, mereka berpikir lagi:
"Kalau bhikkhu-bhikkhu itu tinggal di sini hanya satu malam, besok mereka pasti pergi dari hutan ini".

Mereka lalu duduk diam di bawah pohon. Tetapi keesokkan harinya setelah para bhikkhu berpindapata ke desa di dekat hutan itu dan makan hasil pindapatanya, ternyata mereka kembali ke hutan itu. Para makhluk halus penghuni hutan itu berpikir:
"Besok, kalau ada yang mengundang mereka, mereka pasti pergi dari sini. Kalau hari ini mereka tidak jadi pergi, besok mereka pasti pergi". Setelah berpikir demikian, mereka duduk kembali di bawah pohon sepanjang malam.
Makhluk halus penghuni hutan ragu-ragu, apakah para bhikkhu itu akan segera pergi dari tempat tinggal mereka, lalu berpikir kembali:
"Apabila para bhikkhu ini tinggal di sini selama tiga bulan, pasti tidak enak lagi tinggal di sini, lagipula kita sudah lelah sekali duduk di bawah. Bagaimana yah, caranya supaya para bhikkhu ini pergi dari sini?".

Karena merasa terganggu akhirnya makhluk halus penghuni hutan itu mengganggu para bhikkhu supaya mereka pergi dari tempat tinggal mereka. Siang dan malam hari para bhikkhu itu diganggu, ada yang melihat kepala-kepala beterbangan, ada pula yang melihat badan tanpa ada kepalanya berjalan-jalan, lalu terdengar suara-suara yang menyeramkan.
Pada waktu yang bersamaan, para bhikkhu itu banyak yang menderita bermacam-macam penyakit, ada yang sakit batuk, pilek atau sakit-sakit lainnya. Mereka lalu saling bertanya:
"Saudaraku, kamu sakit apa?".
"Saya sakit pilek".
"Saya batuk-batuk".
"Saudaraku, hari ini saya melihat banyak kepala beterbangan".
"Saudaraku, di malam hari saya melihat badan tanpa kepala berjalan-jalan".
"Saya mendengar suara-suara yang menyeramkan".
"Saudaraku, kita harus meninggalkan tempat ini, tempat ini tidak cocok untuk kita. Mari kita menemui Guru kita, Sang Buddha".
Mereka meninggalkan hutan itu dan menemui Sang Buddha, setelah memberikan hormatnya dengan bernamaskara, mereka lalu duduk dan menceritakan mengapa mereka kembali, Sang Buddha lalu berkata:
"Bhikkhu, mengapa kalian tidak dapat tinggal di hutan itu?".

Para bhikkhu menjawab:
"Yang Mulia, kami tidak dapat lagi tinggal di sana, tempat itu amat menyeramkan, banyak hal menakutkan yang kami lihat dan alami. Tempat itu tidak nyaman untuk kami, jadi kami memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali menemui Yang Mulia".
"Bhikkhu, kamu harus kembali ke tempat itu".
"Maaf Yang Mulia, kami tidak mau kembali ke sana".
"Bhikkhu, ketika kamu pergi ke hutan itu untuk pertama kalinya, kamu tidak membawa "senjata". Dan sekarang kamu harus membawa "senjata" bila kamu kembali ke sana".
"Senjata apakah itu Yang Mulia?"
Sang Buddha lalu menjawab,
"Aku akan memberikan senjata yang dapat kamu bawa kemana pun kamu pergi".

Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta:

KARANIYAMATTHAKUSALENA
YAN TAM SANTAM PADAM ABHISAMECCA
SAKKO UJU CA SUHUJU CA
SUVACO CASSA MUDU ANATIMANI

SANTUSSAKO CA SUBHARO CA
APPAKICCO CA SALLAHUKAVUTTI
SANTINDRIYO CA NIPAKO CA
APPAGABBHO KULESU ANANUGIDDHO

NA CA KHUDDAM SAMACARE KINCI
YENA VINNU PARE UPAVADEYYUM
SUKHINO VA KHEMINO HONTU
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA

YE KECI PANABHUTATTHI
TASA VA THAVARA VA ANAVASESA
DIGHA VA YE MAHANTA VA
MAJJHIMA RASSAKA ANUKATHULA

DITTHA VA YE VA ADDITTHA
YE CA DURE VASANTI AVIDURE
BHUTA VA SAMBHAVESI VA
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA

NA PARO PARAM NIKUBBETHA
NATIMANNETHA KATTHACI NAM KANCI
BYAROSANA PATIGHASANNA
NANNAMANNASSA DUKKHAMICCHEYYA

MATA YATHA NIYAM PUTTAM
AYUSA EKAPUTTAMANURAKKHE
EVAMPI SABBABHUTESU
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM

METTANCA SABBALOKASMIM
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM
UDDHAM ADHO CA TIRIYANCA
ASAMBADHAM AVERAM ASAPATTAM

TITTHANCARAM NISINNO VA
SAYANO VA YAVATASSA VIGATAMIDDHO
ETAM SATIM ADHITTHEYYA
BRAHMAMETAM VIHARAM IDHAMAHU

DITTHINCA ANUPAGAMMA
SILAVA DASSANENA SAMPANNO
KAMESU VINEYYA GEDHAM
NA HI JATU GABBHASEYYAM PUNARETI’TI


Inilah yang harus dikerjakan
oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan.
Untuk mencapai ketenangan,
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur,
Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong.

Merasa puas, mudah disokong/dilayani
Tiada sibuk, sederhana hidupnya
Tenang inderanya, berhati-hati
Tahu malu, tak melekat pada keluarga.

Tidak berbuat kesalahan walaupun kecil
yang dapat dicela oleh Para Bijaksana
Hendaklah ia berpikir :
Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram,
Semoga semua makhluk berbahagia.

Makhluk hidup apa pun juga
Yang lemah dan kuat tanpa kecuali
Yang panjang atau besar
Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk.

Yang tampak atau tidak tampak
Yang jauh atau pun dekat
Yang terlahir atau yang akan lahir
Semoga semua makhluk berbahagia.

Jangan menipu orang lain
Atau menghina siapa saja.
Jangan karena marah dan benci
Mengharapkan orang lain celaka.

Bagaikan seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anaknya yang tunggal,
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran (kasih sayangnya) tanpa batas.

Kasih sayangnya ke segenap alam semesta
Dipancarkannya pikirannya itu tanpa batas
Ke atas, ke bawah dan kesekeliling
Tanpa rintangan, tanpa benci dan permusuhan.

Selagi berdiri, berjalan atau duduk
Atau berbaring, selagi tiada lelap
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini
Yang dikatakan : Berdiam dalam Brahma

Tidak berpegang pada pandangan salah (tentang atta/aku)
Dengan sila dan penglihatan yang sempurna
Hingga bersih dari nafsu indera
Ia tak akan lahir dalam rahim mana pun juga.


Selesainya Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta, Sang Buddha berkata:
"Bhikkhu, bacakanlah Karaniya Metta Sutta ini, ketika kamu hendak masuk ke dalam hutan, dan ketika hendak memasuki tempat meditasi".
Setelah berkata demikian, Sang Buddha melepaskan para bhikkhu kembali ke hutan.

Para bhikkhu menghormat Sang Buddha dan kembali ke hutan dengan membawa "senjata" yang telah Sang Buddha ajarkan. Dengan membacakan Karaniya Metta Sutta bersama-sama, mereka masuk ke dalam hutan.
Makhluk halus penghuni hutan mendengar Karaniya Metta Sutta, yang menggambarkan cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk.

Sesudahnya mereka amat senang dan merasa bersahabat dengan para bhikkhu. Kemudian mereka mendatangi para bhikkhu dan minta ijin agar diperbolehkan membawakan mangkok-mangkok dan jubah-jubah. Mereka membersihkan tangan dan kaki para bhikkhu, lalu menempatkan penjagaan yang kuat di sekelilingnya. Mereka duduk bersama-sama para bhikkhu, berjaga-jaga. Suara-suara dan bayangan-bayangan menakutkan tidak ada lagi, para bhikkhu menjadi tenang dan nyaman.

Mereka segera duduk bermeditasi, melatih diri pada siang dan malam hari, untuk mendapatkan Pandangan Terang. Dengan pikiran yang terpusat dan terkendali mereka merenungkan kematian, tentang tubuh yang mudah rusak dan membusuk, lalu mereka menarik kesimpulan,
"Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan".
Mereka lalu mengembangkan Pandangan Terang.
Sang Buddha yang sedang bermeditasi mengetahui bahwa murid-muridnya mulai mengembangkan Pandangan Terang, lalu ia berbicara kepada mereka:
"Demikianlah bhikkhu. Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan".
Sambil berkata demikian, Sang Buddha mengirimkan bayangan dirinya yang dapat terlihat dengan jelas oleh murid-muridnya.

Meskipun Sang Buddha berada amat jauh, tetapi para bhikkhu dapat melihat Sang Buddha dalam bentuk yang nyata, dengan memancarkan sinar yang amat terang, Sang Buddha mengucapkan syair:

"Dengan menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, maka hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota dan menyerang mara dengan senjata kabijaksanaan"