Sivali adalah anak dari Suppavasa (yang belakangan disebut sebagai
upasika yang memberikan dana terbaik, aggam panítadáyikánam). Ia harus
menderita berada di kandungan selama tujuh tahun oleh ibunya karena
kejahatan masa lampaunya. Suppavasa mengalami kesulitan melahirkan
selama tujuh hari, dan berpikir dirinya akan mati. Maka ia berpikir
untuk memberikan dana kepada Buddha. Ketika Buddha menerima dana dan
memberkati Suppavasa, seketika itu juga ia melahirkan.
Pada hari
kelahirannya, (karena sudah tujuh tahun di kandungan) Sivali ini sudah
memiliki kemampuan anak berumur tujuh tahun. Dengan izin dari Suppavasa,
Sariputta menahbiskannya. Ketika ikat rambutnya pertama dipotong, ia
mencapai Sotapanna, dan ke dua kali, ia mencapai Sakadagami. Dan
kemudian hari ia menyendiri dan menjadi Arahat. Di kemudian hari, ia
disebut oleh Buddha Gotama sebagai yang terbaik dalam menerima dana.
Pada perjalanan menuju tempat kediaman Thera Revata, Buddha mengajak
Thera Sivali karena jalanannya gersang dan tidak ada manusia. Untuk
menguji keberuntungannya, Sivali mengajak lima ratus bhikkhu bersamanya.
Sepanjang perjalanan, karena keberadaan Sivali, para Deva menyediakan
semua kebutuhan para Bhikkhu.
Pada masa Buddha Vipassi, para
perumahtangga bersaing dengan raja untuk memberikan persembahan terbaik.
Pada saat itu, semua sudah terkumpul, namun kekurangan madu. Pada waktu
itu Sivali memiliki madu yang akan dibeli dengan harga sangat mahal
oleh para perumahtangga itu, namun ia tidak mau menjualnya dan ingin
ikut serta dalam dana itu. Ia memberikan madu yang cukup bagi 68.000
Bhikkhu Sangha Buddha Vipassi. Itulah salah satu penyebab ia menjadi
penerima persembahan yang tidak berkekurangan pada kehidupan
terakhirnya.
Penderitaannya di kandungan selama 7 tahun
dijelaskan dalam Asatarupa Jataka di mana Ia sebagai seorang pangeran
yang kerajaannya diserbu oleh kerajaan Kosala. Ayahnya dibunuh dan
ibunya dijadikan istri dari raja baru. Sivali ini berhasil melarikan
diri lewat selokan dan kemudian mengancam raja baru untuk menyerahkan
kerajaan itu kembali, atau ia akan berperang. Ibunya mengirim surat
secara rahasia dan mengatakan tidak perlu berperang, hanya perlu
mengepung saja. Setelah tujuh hari, karena tidak bisa mendapatkan
persediaan makanan, air, dan kayu bakar, akhirnya rakyat memotong kepala
raja baru, dan kemudian Sivali menjadi raja. Karena kejahatannya itu,
maka ia harus menderita selama 7 tahun di dalam kandungan. Ibunya saat
itu adalah Suppavasa, dan ayahnya yang dibunuh oleh Raja Kosala itu
adalah Bodhisatta Gotama sendiri.
Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya;
yang telah menyeberang dan mencapai ‘Pantai Seberang’ (nibbana);
yang selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan;
yang tidak terikat pada sesuatu apa pun dan telah mencapai nibbana,
maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’
Monday, July 30, 2012
Monday, July 16, 2012
Medicine Buddha Mantra
Bhaisajyaguru ( « Medicine Master and King of Lapis Lazuli Light »),
is the buddha of healing and medicine in Mahāyāna Buddhism. Commonly
referred to as the « Medicine Buddha, » he is described as a doctor who
cures suffering using the medicine of his teachings.
He is depicted as deep blue in colour, dressed in bhiksu's robes, holding his begging bowl in his left hand and with his right hand making the varada mudra. Varada means « granting wishes, conferring a boon, ready to fulfil requests or answer prayers. » Sometimes, especially in East Asian iconography, the begging bowl is replaced by a medicine jar; in Tibetan images a myrobalan plant, thought to be a panacea, grows out of the bowl.
Dharmas
According to the Bhaisajyaguruvaidūryaprabharāja Sūtra, the Medicine Buddha Sutra, Bhaisajyaguru made the following Twelve Vows upon attaining Enlightenment :
In Tibetan Buddhism, the practice of Medicine Buddha, the Supreme Healer (or Sangay Menla in Tibetan) is not only a very powerful method for healing and increasing healing powers both for oneself and others, but also for overcoming the inner sickness of attachment, hatred, and ignorance, thus to meditate on the Medicine Buddha can help decrease physical and mental illness and suffering.
The Medicine Buddha mantra is held to be extremely powerful for healing of physical illnesses and purification of negative karma. One form of practice based on the Medicine Buddha is done when one is stricken by disease. The patient is to recite the long Medicine Buddha mantra 108 times over a glass of water. The water is now believed to be blessed by the power of the mantra and the blessing of the Medicine Buddha himself, and the patient is to drink the water. This practice is then repeated each day until the illness is cured.
Recitations
In the Bhaisajyaguruvaidūryaprabharāja Sūtra, the Medicine Buddha is described as having entered into a state of samadhi called « Eliminating All the Suffering and Afflictions of Sentient Beings. » From this samadhi state he spoke the Medicine Buddha Dharani :
The last line of the dharani is used as Bhaisajyaguru's short form mantra. There are several other mantras for the Medicine Buddha as well that are used in different schools of Vajrayana Buddhism.
The short form of the mantra could roughly be translated as « Hail! Appear, O Healer, O Healer, O Great Healer, O King of Healing! » The optional « tadyathā » at the beginning means « thus, » and it’s not really part of the mantra, but more of an introduction.
The long version could be rendered as « Homage to the Blessed One, The Master of Healing, The King of Lapis Lazuli Radiance, The One Thus-Come, The Worthy One, The Fully and Perfectly Awakened One, thus: ‘Hail! Appear, O Healer, O Healer, O Great Healer, O King of Healing!’ »
In Tibetan pronunciation, the mantra comes out as:
He is depicted as deep blue in colour, dressed in bhiksu's robes, holding his begging bowl in his left hand and with his right hand making the varada mudra. Varada means « granting wishes, conferring a boon, ready to fulfil requests or answer prayers. » Sometimes, especially in East Asian iconography, the begging bowl is replaced by a medicine jar; in Tibetan images a myrobalan plant, thought to be a panacea, grows out of the bowl.
Dharmas
According to the Bhaisajyaguruvaidūryaprabharāja Sūtra, the Medicine Buddha Sutra, Bhaisajyaguru made the following Twelve Vows upon attaining Enlightenment :
- To illuminate countless realms with his radiance, enabling anyone to become a Buddha just like him.
- To awaken the minds of sentient beings through his light of lapis lazuli.
- To provide the sentient beings with whatever material needs they require.
- To correct heretical views and inspire beings toward the path of the Bodhisattva.
- To help beings follow the Moral Precepts, even if they failed before.
- To heal beings born with deformities, illness or other physical sufferings.
- To help relieve the destitute and the sick.
- To help women who wish to be reborn as men achieve their desired rebirth.
- To help heal mental afflictions and delusions.
- To help the oppressed be free from suffering.
- To relieve those who suffer from terrible hunger and thirst.
- To help clothe those who are destitute and suffering from cold and mosquitoes.
In Tibetan Buddhism, the practice of Medicine Buddha, the Supreme Healer (or Sangay Menla in Tibetan) is not only a very powerful method for healing and increasing healing powers both for oneself and others, but also for overcoming the inner sickness of attachment, hatred, and ignorance, thus to meditate on the Medicine Buddha can help decrease physical and mental illness and suffering.
The Medicine Buddha mantra is held to be extremely powerful for healing of physical illnesses and purification of negative karma. One form of practice based on the Medicine Buddha is done when one is stricken by disease. The patient is to recite the long Medicine Buddha mantra 108 times over a glass of water. The water is now believed to be blessed by the power of the mantra and the blessing of the Medicine Buddha himself, and the patient is to drink the water. This practice is then repeated each day until the illness is cured.
Recitations
In the Bhaisajyaguruvaidūryaprabharāja Sūtra, the Medicine Buddha is described as having entered into a state of samadhi called « Eliminating All the Suffering and Afflictions of Sentient Beings. » From this samadhi state he spoke the Medicine Buddha Dharani :
namo bhagavate bhaisajyaguru
vaidūryaprabharājāya tathāgatāya
arhate samyaksambuddhāya tadyathā:
om bhaisajye bhaisajye bhaisajya-samudgate svāhā
The last line of the dharani is used as Bhaisajyaguru's short form mantra. There are several other mantras for the Medicine Buddha as well that are used in different schools of Vajrayana Buddhism.
The short form of the mantra could roughly be translated as « Hail! Appear, O Healer, O Healer, O Great Healer, O King of Healing! » The optional « tadyathā » at the beginning means « thus, » and it’s not really part of the mantra, but more of an introduction.
The long version could be rendered as « Homage to the Blessed One, The Master of Healing, The King of Lapis Lazuli Radiance, The One Thus-Come, The Worthy One, The Fully and Perfectly Awakened One, thus: ‘Hail! Appear, O Healer, O Healer, O Great Healer, O King of Healing!’ »
In Tibetan pronunciation, the mantra comes out as:
(Tad-ya-ta) Om Be-kan-dze Be-kan-dze Ma-ha Be-kan-dze Ra-dza Sa-mung-ga-te So-ha
Labels:
Bhaisajyaguru,
Mantra,
Medicine
Thursday, July 05, 2012
7 Keunggulan Ajaran Buddha
7 Keunggulan Ajaran Buddha
Buddha diagungkan bukan karena kekayaan, keindahan, atau lainnya. Beliau diagungkan karena kebaikan, kebijaksanaan, dan pencerahanNya. Inilah alasan mengapa kita, seorang Buddhis, menganggap ajaran Buddha sebagai jalan hidup tertinggi.
Apa sajakah keunggulan-keunggulan yang menumbuhkan kekaguman kita terhadap ajaran Buddha?
Ini bisa dibandingkan dengan pepatah bahasa Inggris, “God helps those who help themselves” –Tuhan menolong mereka yang menolong dirinya sendiri. Inilah ajaran Buddha yang menyebabkan umat Buddha mencintai kebebasan dan kemerdekaan, dan menentang segala bentuk perbudakan dan penjajahan.
Buddha tidak pernah mengutuk seseorang ke neraka atau pun menjanjikan seseorang ke surga, atau Nibbana; karena semua itu tergantung akibat dari perbuatan tiap-tiap orang, sementara Buddha hanyalah guru atau pemimpin. Seperti tertulis dalam Dhammapada, “Semua Buddha, termasuk Saya, hanyalah penunjuk jalan.” Pilihan untuk mengikuti jalanNya atau tidak, tergantung pada orang yang bersangkutan.
Dari awal perkembangannya sampai sekarang, lebih dari 2500 tahun –ajaran Buddha tidak pernah menyebabkan peperangan. Bahkan, Buddha sendiri melarang penyebaran ajaranNya melalui senjata dan kekerasan.
Di sini, menaklukkan diri sendiri terletak pada bagaimana mengatasi kilesa (kekotoran batin). Andaikan semua orang menjadi umat Buddha, maka diharapkan manusia akan beroleh perdamaian dan kebahagiaan. Buddha mengatakan bahwa semua makhluk harus dianggap sebagai sahabat atau saudara dalam kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian. Beliau juga mengajarkan semua umat Buddha untuk tidak menjadi musuh orang-orang tidak satu keyakinan atau pun menganggap mereka sebagai orang yang berdosa. Beliau mengatakan bahwa siapa saja yang hidup dengan benar, tak peduli kepercayaan apapun yang dianutnya, mempunyai harapan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Sebaliknya, siapapun yang menganut ajaran Buddha tetapi tidak mempraktikkannya, hanya akan memperoleh sedikit harapan akan pembebasan dan kebahagiaan.
Dalam ajaran Buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan kata lain, setiap orang dapat mencapai Kebuddhaan.
Kebodohan, ketamakan, keuntungan, kedudukan, pujian, kegembiraan, kerugian, penghinaan, celaan, penderitaan –semua adalah akibat dari keadaan-keadaan yang memiliki sebab.
Akibat-akibat baik muncul dari keadaan-keadaan yang baik, dan akibat buruk muncul dari penyebab-penyebab buruk pula. Kita sendiri yang menyebabkan keberuntungan dan ketidakberuntungan kita sendiri. Tidak ada Tuhan atau siapapun yang dapat melakukannya untuk kita. Oleh karena itu, kita harus mencari keberuntungan kita sendiri, bukan membuang-buang waktu menunggu orang lain melakukannya untuk kita. Jika seseorang mengharapkan kebaikan, maka dia hanya akan berbuat kebaikan dan berusaha menghindari pikiran dan perbuatan jahat.
Prinsip-prinsip sebab dan akibat; suatu kondisi yang pada mulanya sebagai akibat akan menjadi sebab dari kondisi yang lain, dan seterusnya seperti mata rantai. Prinsip ini sejalan dengan pengetahuan modern yang membuat ajaran Buddha tidak ketinggalan zaman daripada kepercayaan-kepercayaan lain di dunia.
Buddha diagungkan bukan karena kekayaan, keindahan, atau lainnya. Beliau diagungkan karena kebaikan, kebijaksanaan, dan pencerahanNya. Inilah alasan mengapa kita, seorang Buddhis, menganggap ajaran Buddha sebagai jalan hidup tertinggi.
Apa sajakah keunggulan-keunggulan yang menumbuhkan kekaguman kita terhadap ajaran Buddha?
1. Ajaran Buddha tidak membedakan kelas / kasta
Buddha mengajarkan bahwa manusia menjadi baik atau jahat bukan karena kasta atau status sosial, bukan pula karena percaya atau menganut suatu kepercayaan. Seseorang baik atau jahat karena perbuatannya. Dengan berbuat jahat, seseorang menjadi jahat, dan dengan berbuat baik, seseorang menjadi baik. Setiap orang, apakah ia raja, orang miskin atau pun orang kaya, bisa masuk surga atau neraka, atau mencapai Nibbana, dan hal itu bukan karena kelas atau pun kepercayaannya.2. Ajaran Buddha mengajarkan belas kasih yang universal
Buddha mengajarkan kita untuk memancarkan metta (kasih sayang dan cinta kasih) kepada semua makhluk tanpa kecuali. Terhadap manusia, janganlah membedakan bangsa. Terhadap hewan, janganlah membedakan jenisnya. Metta harus dipancarkan kepada semua hewan termasuk yang terkecil seperti serangga.3. Dalam ajaran Buddha, tidak seorang pun diperintahkan untuk percaya
Sang Buddha tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayai ajaranNya. Semua adalah pilihan sendiri, tergantung pada hasil kajian masing-masing individu. Buddha bahkan menyarankan, “Jangan percaya apa yang Kukatakan kepadamu sampai kamu mengkaji dengan kebijaksanaanmu sendiri secara cermat dan teliti apa yang Kukatakan.” Ajaran Buddha tidak terlalu dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan kritik-kritik terhadap ajaranNya. Jelaslah bagi kita bahwa ajaran Buddha memberikan kemerdekaan atau kebebasan berpikir.4. Agama Buddha mengajarkan diri sendiri sebagai pelindung
Buddha bersabda, “Jadikanlah dirimu pelindung bagi dirimu sendiri. Siapa lagi yang menjadi pelindungmu? Bagi orang yang telah berlatih dengan sempurna, maka dia telah mencapai perlindungan terbaik.”Ini bisa dibandingkan dengan pepatah bahasa Inggris, “God helps those who help themselves” –Tuhan menolong mereka yang menolong dirinya sendiri. Inilah ajaran Buddha yang menyebabkan umat Buddha mencintai kebebasan dan kemerdekaan, dan menentang segala bentuk perbudakan dan penjajahan.
Buddha tidak pernah mengutuk seseorang ke neraka atau pun menjanjikan seseorang ke surga, atau Nibbana; karena semua itu tergantung akibat dari perbuatan tiap-tiap orang, sementara Buddha hanyalah guru atau pemimpin. Seperti tertulis dalam Dhammapada, “Semua Buddha, termasuk Saya, hanyalah penunjuk jalan.” Pilihan untuk mengikuti jalanNya atau tidak, tergantung pada orang yang bersangkutan.
5. Ajaran Buddha adalah ajaran yang suci
Yang dimaksudkan di sini adalah ajaran tanpa pertumpahan darah.Dari awal perkembangannya sampai sekarang, lebih dari 2500 tahun –ajaran Buddha tidak pernah menyebabkan peperangan. Bahkan, Buddha sendiri melarang penyebaran ajaranNya melalui senjata dan kekerasan.
6. Ajaran Buddha adalah ajaran yang damai dan tanpa monopoli kedudukan
Dalam Dhammapada, Buddha bersabda, “Seseorang yang membuang pikiran untuk menaklukkan orang lain akan merasakan kedamaian.” Pada saat yang sama, Beliau memuji upaya menaklukkan diri sendiri. Beliau berkata, “Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalam perang bukanlah penakluk sejati. Tetapi seseorang yang hanya menaklukkan seorang saja yaitu dirinya sendiri, dialah pemenang tertinggi.”Di sini, menaklukkan diri sendiri terletak pada bagaimana mengatasi kilesa (kekotoran batin). Andaikan semua orang menjadi umat Buddha, maka diharapkan manusia akan beroleh perdamaian dan kebahagiaan. Buddha mengatakan bahwa semua makhluk harus dianggap sebagai sahabat atau saudara dalam kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian. Beliau juga mengajarkan semua umat Buddha untuk tidak menjadi musuh orang-orang tidak satu keyakinan atau pun menganggap mereka sebagai orang yang berdosa. Beliau mengatakan bahwa siapa saja yang hidup dengan benar, tak peduli kepercayaan apapun yang dianutnya, mempunyai harapan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Sebaliknya, siapapun yang menganut ajaran Buddha tetapi tidak mempraktikkannya, hanya akan memperoleh sedikit harapan akan pembebasan dan kebahagiaan.
Dalam ajaran Buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan kata lain, setiap orang dapat mencapai Kebuddhaan.
7. Ajaran Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat
Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu muncul dari suatu sebab. Tiada suatu apapun yang muncul tanpa alasan.Kebodohan, ketamakan, keuntungan, kedudukan, pujian, kegembiraan, kerugian, penghinaan, celaan, penderitaan –semua adalah akibat dari keadaan-keadaan yang memiliki sebab.
Akibat-akibat baik muncul dari keadaan-keadaan yang baik, dan akibat buruk muncul dari penyebab-penyebab buruk pula. Kita sendiri yang menyebabkan keberuntungan dan ketidakberuntungan kita sendiri. Tidak ada Tuhan atau siapapun yang dapat melakukannya untuk kita. Oleh karena itu, kita harus mencari keberuntungan kita sendiri, bukan membuang-buang waktu menunggu orang lain melakukannya untuk kita. Jika seseorang mengharapkan kebaikan, maka dia hanya akan berbuat kebaikan dan berusaha menghindari pikiran dan perbuatan jahat.
Prinsip-prinsip sebab dan akibat; suatu kondisi yang pada mulanya sebagai akibat akan menjadi sebab dari kondisi yang lain, dan seterusnya seperti mata rantai. Prinsip ini sejalan dengan pengetahuan modern yang membuat ajaran Buddha tidak ketinggalan zaman daripada kepercayaan-kepercayaan lain di dunia.
Labels:
Ajaran Buddha,
Keunggulan
Kisah Nyata Inspiratif : Ibuku
Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya, saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.
Memasuki usia baya, sang anak memasuki sekolah menengah atas. Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja di sawah.
Saat itu setiap bulannya murid - murid diharuskan membawa tiga puluh kg beras untuk dibawa ke kantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibunya tidak mungkin bisa memberikan tiga puluh kg beras tersebut.
Ia kemudian berkata kepada ibunya :
"Ibu, saya mau berhenti sekolah dan membantu ibu bekerja disawah".
Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata :
"Kamu memiliki niat seperti itu Ibu sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau Ibu sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan ke sekolah nanti berasnya ibu yang akan bawa ke sana".
Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan ke sekolah, Ibundanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh Ibundanya.
Sang anak akhirnya pergi juga ke sekolah. Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh. Tak berapa lama, dengan terpincang - pincang dan nafas tergesa - gesa Ibunya datang ke kantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya.
Pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata : " Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, di sini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran". Sang ibu ini pun malu dan berkali - kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.
Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk ke dalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata:
"Masih dengan beras yang sama".
Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata :
"Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna. Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya".
Sang ibu sedikit takut dan berkata :
"Ibu pengawas, beras di rumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana?
Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata :
"Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam - macam jenis beras". Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa - apa lagi.
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali ke sekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata - kata kasar dan berkata:
"Kamu sebagai ibu kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu !".
Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata:
"Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis". Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa - apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk di atas lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak.
Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata:
"Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi."
Selama ini dia tidak memberitahu sanak saudaranya yang ada di kampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya. Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi ke kampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan - pelan kembali ke kampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan ke sekolah.
Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata:
"Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu."
Sang ibu buru - buru menolak dan berkata:
"Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."
Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam - diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Setelah tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi dengan nilai 627 point.
Di hari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk di atas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras.
Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju ke depan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah. Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata :
"Inilah sang ibu dalam cerita tadi."
Dan mempersilahkan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik ke atas mimbar.
Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat ke belakang dan melihat gurunya menuntun Ibunya berjalan ke atas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Pandangan Ibu yang hangat dan lembut kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat ibunya dan berkata:
"Oh Ibu.."
Pesan Cerita :
Pepatah mengatakan: "Kasih ibu sepanjang masa, sepanjang jaman dan sepanjang kenangan" Inilah kasih seorang ibu yang terus dan terus memberi kepada anaknya tak mengharapkan kembali dari sang anak.
Hati mulia seorang ibu demi menghidupi sang anak berkerja tak kenal lelah dengan satu harapan sang anak mendapatkan kebahagian serta sukses di masa depannya. Mulai sekarang, katakanlah kepada Ibu kita di manapun ibu kita berada dengan satu kalimat: " Terima Kasih Ibu, Aku Mencintaimu, Aku Mengasihimu... selamanya".
Labels:
Kisah Inspiratif,
Kisah Nyata
Toleransi Agama
Raja Asoka berkata:
Seseorang seharusnya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan menyalahkan agama-agama orang lain, melainkan ia harus menghormati agama-agama orang lain karena berbagai alasan.
Dengan berlaku demikian, seseorang telah membantu perkembangan agamanya sendiri dan juga memberikan pelayanan
kepada agama-agama orang lain. Bila bertindak sebaliknya, ia menggali lubang kubur bagi agamanya sendiri dan juga membahayakan agama-agama lainnya.
Siapa saja yang menghormati agamanya sendiri dan menyalahkan agama-agama lainnya, itu dilakukan karena bakti terhadap agamanya sendiri, dengan berpikir bahwa "Aku akan memuliakan agamaku sendiri".
Akan tetapi sebaliknya, dengan berbuat demikian ia semakin dalam melukai agamanya sendiri. Karenanya kerukunan adalah baik: Mari kita semua mendengarkan, dan dengan ikhlas mendengarkan ajaran-ajaran yang dianut orang lain.
Seseorang seharusnya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan menyalahkan agama-agama orang lain, melainkan ia harus menghormati agama-agama orang lain karena berbagai alasan.
Dengan berlaku demikian, seseorang telah membantu perkembangan agamanya sendiri dan juga memberikan pelayanan
kepada agama-agama orang lain. Bila bertindak sebaliknya, ia menggali lubang kubur bagi agamanya sendiri dan juga membahayakan agama-agama lainnya.
Siapa saja yang menghormati agamanya sendiri dan menyalahkan agama-agama lainnya, itu dilakukan karena bakti terhadap agamanya sendiri, dengan berpikir bahwa "Aku akan memuliakan agamaku sendiri".
Akan tetapi sebaliknya, dengan berbuat demikian ia semakin dalam melukai agamanya sendiri. Karenanya kerukunan adalah baik: Mari kita semua mendengarkan, dan dengan ikhlas mendengarkan ajaran-ajaran yang dianut orang lain.
Labels:
Raja Asoka,
Toleransi Agama
Orang Baik bagaikan pohon
Pohon memberi naungan bagi yang lain..
Sementara Ia sendiri ditimpa matahari..
Buah yang dihasilkan diperuntukan bagi yang lain..
Demikianlah orang baik adalah bagaikan pohon..
~Subhasitaranaghosa~
Sementara Ia sendiri ditimpa matahari..
Buah yang dihasilkan diperuntukan bagi yang lain..
Demikianlah orang baik adalah bagaikan pohon..
~Subhasitaranaghosa~
Labels:
Orang Baik,
Pohon
Pemberian Bijaksana
Empat jenis orang bijaksana yang memberi:
Ia tidak memberi sesuatu yang tidak perlu jika yang lainnya masih baik, atau dengan memandang rendah berpikir: "mereka tidak pantas untuk ditawari" Ia juga tidak menurunkan nilai pemberiannya dengan mengharapkan balasan lebih.
jika memberi pada orang bijaksana(mulia), ia tidak merasa bangga berlebihan, jika memberi pada orang terhina Ia tidak merasa rendah..
ia memberi dengan iklas, tidak akan memandang tinggi dirinya dan memandang rendah yang lainnya.
Ia tidak memberi dengan maksud yang tidak baik,
ia tidak memberi tanpa cita-cita mulia..
ia tidak memberi dengan kemarahan..
juga tidak menyesali apapun yang telah diberikan..
Ia tidak memberi banyak jika dipuji atau sedikit jika tidak dipuji..
Ia tidak memberikan sesuatu yang merugikan atau menimbulkan prilaku tercerah.
~Paramitasamasa 1:36-40~
Ia tidak memberi sesuatu yang tidak perlu jika yang lainnya masih baik, atau dengan memandang rendah berpikir: "mereka tidak pantas untuk ditawari" Ia juga tidak menurunkan nilai pemberiannya dengan mengharapkan balasan lebih.
jika memberi pada orang bijaksana(mulia), ia tidak merasa bangga berlebihan, jika memberi pada orang terhina Ia tidak merasa rendah..
ia memberi dengan iklas, tidak akan memandang tinggi dirinya dan memandang rendah yang lainnya.
Ia tidak memberi dengan maksud yang tidak baik,
ia tidak memberi tanpa cita-cita mulia..
ia tidak memberi dengan kemarahan..
juga tidak menyesali apapun yang telah diberikan..
Ia tidak memberi banyak jika dipuji atau sedikit jika tidak dipuji..
Ia tidak memberikan sesuatu yang merugikan atau menimbulkan prilaku tercerah.
~Paramitasamasa 1:36-40~
The Mantra Of Amitabha Buddha
Wang Sen Cing Thu Sen Cou
The Mantra Of Amitabha Buddha. Umat Buddha yang tekun dan rajin membaca Mantra ini, dan melafalkan Namo Amitabha Buddha, maka karma - karma buruk yang berat akan terhapus, dan kelak ketika ia meninggal, Amitabha Buddha, Kwan Se Im Phu Sa, Ta Se Che Phu Sa dan para makhluk suci lainnya akan dtg menjemputnya menuju ke Surga yg penuh kebahagiaan di Surga Sukhavati sebelah barat
The Mantra Of Amitabha Buddha. Umat Buddha yang tekun dan rajin membaca Mantra ini, dan melafalkan Namo Amitabha Buddha, maka karma - karma buruk yang berat akan terhapus, dan kelak ketika ia meninggal, Amitabha Buddha, Kwan Se Im Phu Sa, Ta Se Che Phu Sa dan para makhluk suci lainnya akan dtg menjemputnya menuju ke Surga yg penuh kebahagiaan di Surga Sukhavati sebelah barat
Labels:
Amitabha Buddha,
Mantra
Pesan Lao Tse
Setelah
mengetahui bahwa pembimbingnya, Chang Cong, sakit keras, Lao Tzu
mengunjunginya. Terlihat jelas bahwa Chang Cong mendekati akhir
hidupnya.
"Guru, apakah Guru mempunyai kata-kata bijak terakhir untukku?" Kata Lao Tzu kepadanya.
"Sekalipun kamu tidak bertanya, aku pasti akan mengatakan sesuatu kepadamu." Jawab Chang Cong.
"Apa itu?" Tanya Lao Tzu
"Kamu harus turun dari keretamu bila kamu melewati kota kelahiranmu." Kata Chang Cong
"Ya Guru. Ini berarti orang tidak boleh melupakan asalnya." Kata Lao Tzu
"Bila kamu melihat pohon yang tinggi, kamu harus maju dan mengaguminya." Ucap Chang Cong
"Ya, Guru. Ini berarti saya harus menghormati orang yang lebih tua." Kata Lao Tzu
"Sekarang, lihat dan katakan apakah kamu dapat melihat lidahku," kata Chang Cong, menundukkan dagunya dengan susah payah.
"Ya." Jawab Lao Tzu
"Apakah kamu melihat gigiku?" Tanya Chang Cong
"Tidak. Tak ada gigi yang tersisa." Jawab Lao Tzu
"Kamu tahu kenapa?" Tanya Chang Cong
"Aku rasa," kata Lao Tzu setelah berpikir sejenak, "Lidah tetap ada karena lunak. Gigi rontok karena mereka keras. Benar tidak?"
"Ya, anakku," angguk Chang Cong. "Itulah kebijaksanaan di dunia. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk di ajarkan kepadamu."
Di kemudian hari, Lao Tzu mengatakan : "Tidak ada sesuatu pun di dunia yang selunak air. Namun tidak ada yang mengunggulinya dalam mengalahkan yang keras. Yang lunak mengalahkan yang keras dan yang lembut mengalahkan yang kuat. Setiap orang tahu itu, tapi sedikit saja yang mempraktekkan."
Keterangan :
Lao Tzu adalah ahli filsafat China yang sangat populer dan pendiri Taoisme. Lao Tzu juga pengarang buku Dao De Jing (Di baca "Tao Te Cing") yang sangat terkenal. Lao Tzu hidup sezaman dan berteman baik dengan Confucius (Kong Hu Cu).
Pesan Cerita :
Kadang kala kita sering ego dan mau menang sendiri ketika menghadapi suatu permasalahan dan interaksi sosial dalam kehidupan kita sehari-hari.
"Guru, apakah Guru mempunyai kata-kata bijak terakhir untukku?" Kata Lao Tzu kepadanya.
"Sekalipun kamu tidak bertanya, aku pasti akan mengatakan sesuatu kepadamu." Jawab Chang Cong.
"Apa itu?" Tanya Lao Tzu
"Kamu harus turun dari keretamu bila kamu melewati kota kelahiranmu." Kata Chang Cong
"Ya Guru. Ini berarti orang tidak boleh melupakan asalnya." Kata Lao Tzu
"Bila kamu melihat pohon yang tinggi, kamu harus maju dan mengaguminya." Ucap Chang Cong
"Ya, Guru. Ini berarti saya harus menghormati orang yang lebih tua." Kata Lao Tzu
"Sekarang, lihat dan katakan apakah kamu dapat melihat lidahku," kata Chang Cong, menundukkan dagunya dengan susah payah.
"Ya." Jawab Lao Tzu
"Apakah kamu melihat gigiku?" Tanya Chang Cong
"Tidak. Tak ada gigi yang tersisa." Jawab Lao Tzu
"Kamu tahu kenapa?" Tanya Chang Cong
"Aku rasa," kata Lao Tzu setelah berpikir sejenak, "Lidah tetap ada karena lunak. Gigi rontok karena mereka keras. Benar tidak?"
"Ya, anakku," angguk Chang Cong. "Itulah kebijaksanaan di dunia. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk di ajarkan kepadamu."
Di kemudian hari, Lao Tzu mengatakan : "Tidak ada sesuatu pun di dunia yang selunak air. Namun tidak ada yang mengunggulinya dalam mengalahkan yang keras. Yang lunak mengalahkan yang keras dan yang lembut mengalahkan yang kuat. Setiap orang tahu itu, tapi sedikit saja yang mempraktekkan."
Keterangan :
Lao Tzu adalah ahli filsafat China yang sangat populer dan pendiri Taoisme. Lao Tzu juga pengarang buku Dao De Jing (Di baca "Tao Te Cing") yang sangat terkenal. Lao Tzu hidup sezaman dan berteman baik dengan Confucius (Kong Hu Cu).
Pesan Cerita :
Kadang kala kita sering ego dan mau menang sendiri ketika menghadapi suatu permasalahan dan interaksi sosial dalam kehidupan kita sehari-hari.
Wednesday, July 04, 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)