Di kota ini selalu terdengar suara-suara dari sepuluh macam suara seperti, suara gajah, kuda, kereta, suara genderang besar, genderang kecil, harpa, nyanyi-nyanyian, tiupan kulit kerang, tepuk tangan, dan undangan-undangan pesta. (Di kota-kota lain penuh dengan suara yang tidak menyenangkan, teriakan-teriakan dan tangisan yang menyakitkan).
Kota ini teranugerahi dengan semua karakteristik dari sebuah kota metropolitan. Tidak kekurangan mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup seperti: berlian, emas, perak, mata kucing, mutiara, zamrud, dan selalu didatangi oleh pengunjung-pengunjung dari luar. Lengkap dengan segala barang-barang seperti di alam surga. Di sini adalah alam di mana orang-orang menikmati buah dari perbuatan-perbuatan baik.
Di kota Amaravatã ini hiduplah seorang Brahmana bernama Sumedhà. Ibunya adalah keturunan dari keluarga Brahmana dari generasi ke generasi, demikian pula dengan ayahnya. Sehingga, ia adalah seorang Brahmana murni karena kelahiran, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Ia terlahir dari seorang ibu yang kaya raya dan baik. Ia tidak dapat dicemooh karena kelahirannya dengan mengatakan, “Orang ini lahir dari golongan rendah sampai tujuh generasi leluhurnya.” Ia adalah orang yang tak dapat diremehkan atau dicela. Ia adalah seorang dengan darah Brahmana murni dengan fisik yang menarik perhatian setiap orang.
Sehubungan dengan kekayaannya: Ia memiliki harta yang tersimpan dalam gudang harta dalam jumlah yang sangat besar dan sejumlah besar hasil panen serta barang-barang kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Ia memelajari tiga Kitab Veda: Iru, Yaju, dan Sàma. Menguasai kitab-kitab ini dan dapat menghafalnya tanpa cacat. Tanpa kesulitan ia menguasai:
1. Nighandu, buku yang menjelaskan berbagai istilah,
2. Ketubha, buku mengenai literatur-literatur yang berisi bermacam literatur yang ditulis oleh para peneliti terpelajar,
3. Vyakarana (Akkharapabheda), buku Tata Bahasa yang berhubungan dengan analisis kata-kata dan menjelaskan aturan-aturan tata bahasa dan istilah-istilah seperti alphabet, konsonan, dll,
4. Itihasa (juga disebut Påraõa) yang merupakan Veda kelima yang menceritakan tentang legenda-legenda dan kisah-kisah kuno.
Ia juga ahli dalam Lokayata, karya filosofis yang menentang perbuatan-perbuatan yang dapat memperpanjang saÿsàra dan juga karya yang berhubungan dengan orang-orang besar seperti: Buddha yang akan datang, Pacceka Buddha yang akan datang. Ia juga seorang guru yang mengajarkan cerita-cerita Brahmanis yang diajarkan dari generasi ke generasi.
Orangtua Sumedhà meninggal dunia sewaktu ia masih sangat muda. Penjaga harta keluarga, membawa daftar harta, membuka gudang harta yang penuh dengan emas, perak, batu delima, mutiara, dan lain-lain, dan berkata, “Tuan muda, sebanyak inilah harta yang engkau warisi dari pihak ibu, dan sebanyak ini dari pihak ayah, dan sebanyak ini dari leluhurmu.” Ia memberitahukan Sumedhà tentang kekayaan yang diwarisinya dari tujuh generasi leluhurnya, dan berkata, “Lakukan apa pun yang engkau inginkan dari kekayaan ini.” Kemudian menyerahkannya kepada Sumedhà.
Sumedhà Pergi Bertapa
Suatu hari Sumedhà naik ke teras atas istananya, duduk bersila dalam keheningan, timbul pikiran berikut ini dalam dirinya:
“Sungguh menyedihkan kelahiran sebagai makhluk hidup; Demikian pula kehancuran dari badan jasmani; Sungguh menyedihkan mati dalam tekanan kebodohan dan di bawah kekuasaan usia tua.”
“Karena harus mengalami kelahiran, usia tua, dan sakit, aku akan mencari Nibbàna di mana usia tua, kematian, dan ketakutan padam.”
“Betapa menyenangkan seandainya aku dapat bebas dari tubuh ini secara total, karena tubuh ini penuh dengan benda-benda kotor seperti: air seni, kotoran, darah, ludah, dahak, nanah, lendir, empedu, keringat, dan lain-lain.”
“Pasti ada jalan menuju Nibbàna yang penuh dengan kedamaian. Tidak mungkin tidak ada. Aku akan mencari Jalan menuju Nibbàna sehingga aku dapat terbebas dari lingkaran kehidupan..............................”
Mahàdàna
Setelah merenungkan hal-hal tadi, sekali lagi Sumedhà Sang Bijaksana berpikir, “Dengan memiliki banyak kekayaan ini, ayahku, kakakku, dan para leluhurku serta saudara-saudaraku selama tujuh generasi bahkan tidak mampu membawa hanya satu keping uang pun pada saat mereka meninggal dunia. Namun aku harus dapat menemukan cara untuk membawa kekayaanku ke Nibbàna.” Kemudian ia menghadap raja dan berkata, “Yang Mulia, karena pikiranku sangat terganggu oleh bahaya besar akan penderitaan yang ditimbulkan oleh kelahiran, usia tua, dan lain-lain, maka aku akan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi petapa. Aku mempunyai banyak harta kekayaan. Ambillah hartaku itu.”
“Aku tidak menginginkan harta kekayaanmu. Kamu dapat melepaskannya dengan cara yang engkau inginkan” jawab Raja. “Baiklah, Yang Mulia” jawab Sumedhà Sang Bijaksana. Kemudian dengan tabuhan genderang besar, ia mengumumkan di seluruh kota Amaravatã, “Kepada siapa pun yang menginginkan kekayaanku, silakan datang dan ambil.” Dan ia mendanakan kekayaannya dalam suatu mahàdàna kepada semua orang tanpa membedakan status miskin atau kaya.
Melepaskan Keduniawian
Setelah melakukan mahàdàna, Sumedhà yang Bijaksana, Bakal Buddha, melepaskan keduniawian dan pergi menuju Pegunungan Himalaya dengan tujuan ke Gunung Dhammika pada hari itu juga. Dewa Sakka melihat Sumedhà mendekati Pegunungan Himalaya, memanggil Vissukamma dan berkata, “Pergilah, Vissukamma, Sumedhà, Sang Bijaksana telah melepaskan keduniawian dan bermaksud menjadi petapa. Buatkan sebuah tempat tinggal untuknya.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab Vissukamma. Kemudian ia membuat rancangan sebuah pertapaan yang di dalamnya terdapat sebuah bangunan gubuk beratap daun-daunan dan dilengkapi jalan setapak yang nyaman dan tanpa cacat. (Penulis menjelaskan bahwa jalan ini tanpa cacat karena bebas dari lima macam cacat yaitu:
(1) jalan yang kasar dan tidak rata
(2) ada pohon-pohonan di jalan tersebut,
(3) tertutup oleh semak-semak,
(4) terlalu sempit, dan
(5) terlalu lebar.
Mulai Bertapa
Sesampainya di kaki Pegunungan Himalaya, Sumedhà, Sang Bijaksana berjalan di sepanjang perbukitan dan mencari tempat yang sesuai di mana ia dapat tinggal dengan nyaman. Di sana, di lekukan sungai di wilayah Gunung Dhammika, ia melihat sebuah pertapaan yang indah yang dibangun oleh Vissukamma atas perintah Dewa Sakka. Kemudian ia berjalan perlahan-lahan menuju jalan setapak, namun ia tidak melihat jejak kaki di atas jalan setapak itu, ia berpikir, “Mungkin, para penghuni pertapaan ini sedang beristirahat di dalam pondoknya setelah mengumpulkan dàna makanan yang melelahkan di pemukiman sana.” Dengan pikiran seperti itu ia menunggu beberapa saat.
Namun tidak terlihat tanda-tanda keberadaan orang di sana setelah waktu yang cukup lama. “Aku telah menunggu cukup lama, aku akan menyelidiki apakah tempat ini ada penghuninya atau tidak.” Ia membuka pintu dan masuk ke gubuk, melihat ke sana kemari, kemudian terlihat tulisan di dinding dan berpikir, “Perlengkapan ini cocok untukku. Aku akan menggunakannya dan menjadi petapa.” Setelah memutuskan demikian, dan setelah merenungkan sembilan kerugian memakai pakaian orang biasa dan dua belas keuntungan memakai jubah, kemudian ia mengganti pakaiannya dengan memakai jubah tersebut.
Meninggalkan Gubuk dan Tinggal di Bawah Pohon
Setelah ia menanggalkan pakaiannya yang mewah, Sumedhà, Sang Bijaksana, mengambil jubah yang berwarna merah seperti bunga amoja yang ditemukannya terlipat rapi di atas pasak bambu, siap untuk dipakai, ia melilitkan jubah itu di sekeliling pinggangnya. Di atasnya ia memakai jubah lain yang berwarna emas, yang juga menutupi bahu kirinya. Ia memakai penutup kepala dan mengencangkannya menggunakan penjepit rambut berwarna putih, mengambil sebuah pikulan untuk membawa perlengkapan yang di satu ujungnya digantungkan jaring tempat ia meletakkan tempat air berwarna batu karang, dan di ujung lainnya digantungkan gancu panjang (dipakai untuk memetik buah-buahan dari pohon), sebuah keranjang, tongkat, dan lain lain. Kemudian ia menggantungkan pikulan perlengkapan itu di bahunya yang sekarang penuh dengan perlengkapan petapa. Dengan memegang tongkat di tangan kanannya, ia berjalan keluar dari gubuknya. Sewaktu berjalan mondar mandir sepanjang jalan setapak sepanjang enam puluh lengan, ia mengamati dirinya dengan penampilan baru dan merasa gembira dengan pikiran:
“Keinginanku telah terpenuhi
Indah sekali kehidupan bertapaku ini,
Kehidupan bertapa sangat dipuja oleh para bijaksana,
seperti para Buddha dan Pacceka Buddha,
Penjara rumah tangga telah ditinggalkan,
Aku telah keluar dengan selamat dari alam kenikmatan duniawi,Aku telah memasuki kehidupan menjadi seorang petapa,
Aku akan berusaha melatih kehidupan suci,
Aku akan berusaha mendapatkan hasil dari latihan-latihan suci ini.”
Kemudian ia menurunkan pikulan perlengkapan dari bahunya, duduk diam seperti patung emas di atas batu di tengah jalan setapak, ia melewatkan hari itu di sana.
Pada waktu malam ia masuk ke gubuk, berbaring di atas papan di pinggir dipan, ia menggunakan jubah sebagai selimut dan tidur. Ketika ia bangun keesokan paginya, ia merenungkan alasan mengapa ia ada di sana:
“Karena melihat bahaya dari hidup berumah tangga, dan karena telah melepaskan harta kekayaan, aku masuk ke hutan dan menjadi petapa dengan tujuan untuk mencari jalan yang dapat membebaskan aku dari perangkap nafsu. Mulai saat ini, aku tidak boleh lalai. Ada tiga jenis pikiran salah, yaitu yang berasal dari nafsu (kàma vitakka) yang mengarah kepada kenikmatan indra, yang berasal dari kebencian (vyàpàda vitakka) yang mengarah kepada pembunuhan, perusakan, mencelakai; yang berasal dari kekejaman (vihiÿsa vitakka) yang mengarah kepada melukai dan menyakiti makhluk-makhluk lain. Pikiran-pikiran ini seperti lalat liar yang diberi makanan oleh mereka yang malas dan tidak mau melatih batin agar terbebas dari kotoran batin dan kemelekatan fisik terhadap nafsu indra. Sekaranglah waktunya bagiku untuk secara total melatih ketidak-terikatan (paviveka).”
“Sebenarnyalah, setelah melihat bahaya dari hidup berumah tangga yang menghalangi, merintangi, dan merugikan latihan-latihan ini, aku melepaskan keduniawian. Gubuk dari dedaunan ini sebenarnya sangat indah. Tanah yang baik ini kuning cerah seperti buah yang matang. Dindingnya putih keperakan. Atap dedaunan ini indah kemerahan seperti warna kaki merpati. Dipan rotan ini memiliki corak bagaikan alas tempat tidur yang mewah. Tempat tinggal ini sangatlah nyaman untuk ditempati. Kupikir, kemewahan yang dimiliki petapa sebelumku di sini tidak dapat melebihi kemewahan dari gubuk ini.” Dengan perenungan ini, ia melihat delapan cacat dalam sebuah gubuk dedaunan dan sepuluh keuntungan dari tinggal di bawah pohon. Karena itu, hari itu juga ia meninggalkan gubuk itu dan mencari pohon yang memiliki sepuluh manfaat.
Bermeditasi Dengan Hidup Hanya dari Buah-buahan
Keesokan paginya, ia memasuki perkampungan untuk mengumpulkan dàna makanan. Para penduduk menyediakan berbagai macam makanan. Setelah selesai makan, ia kembali ke tempatnya di hutan, kemudian duduk dan berpikir
“Aku menjadi petapa bukan karena kekurangan makanan. Makanan yang lezat cenderung menambah kesombongan dan keangkuhan seseorang. Kesulitan yang timbul dari kebutuhan mempertahankan hidup dengan makanan tak akan berakhir. Baik sekali jika aku dapat menghindarkan dari memakan makanan yang berasal dari hasil pertanian dan hidup hanya dari buah-buahan yang jatuh dari pohon.
Sejak saat itu, ia hidup hanya dari memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon. Tanpa berbaring sama sekali, ia berlatih meditasi terus-menerus tanpa putus hanya dalam tiga postur: duduk, berdiri, dan berjalan, hingga pada hari ketujuh, ia mencapai Delapan pencapaian (delapan tingkat Jhàna) dan lima kekuatan batin tinggi (Abhinya).
Buku Buddhavaÿsa menceritakan kisah Sumedhà Sang Bijaksana, Bakal Buddha, mulai sejak ia melakukan mahàdàna, sampai kepada saat ia menjadi petapa dan mencapai kekuatan batin dan Jhàna. Pada saat kemunculan Buddha Dipankara di dunia ini, Pertapa Sumedha tengah mendalam di dalam tapa (keadaan Jhana) sehingga beliau tidak mengetahui munculnya seorang Samma SamBuddha, namun setelah selesai bermeditasi Jhana akhirnya beliau mendengar dari penduduk desa tentang kemunculan Seorang Samma Sam Buddha, mendengar kata Buddha batinnya terpenuhi dengan rasa kegiuran (piti) yang sangat mendalam dan berusaha mencari keberadaan Buddha Dipankara melalui kesaktiannya. Dengan cara terbang beliau pergi menuju keberadaan Buddha Dipankara.
Sumedha mengorbankan dirinya
Sumedha menatap tanpa berkedip pada sosok Buddha, yang dianugerahi dengan 32 tanda besar seorang manusia luar-biasa ( Mahapurissa ), dan 80 tanda-tanda kecil lainnya. Ia menyaksikan sosok Buddha yang indah dan bercahaya, seperti terbuat dari emas-murni, dengan aura terang di sekeliling-Nya dan enam sinar memancar dari tubuh-Nya, seperti kilat di langit biru.
Kemudian Sumedha memutuskan sebagai berikut, “Hari ini, aku akan mengorbankan diriku untuk Buddha. Agar Ia tidak menginjak lumpur dan mengalami ketidaknyamanan, biarlah Buddha beserta 400.000 Arahanta menginjak punggungku dan seolah-olah berjalan di atas jembatan kayu berwarna batu delima. Dengan menggunakan tubuhku sebagai jembatan oleh Buddha dan para Arahanta, aku pasti akan mendapat kesejahteraan dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama.”
Setelah mengambil keputusan demikian, ia melepaskan sabuknya, menggelar matras kulit macan dan jubahnya di atas tanah becek kemudian berbaring tiarap diatasnya, bagaikan jembatan yang terbuat dari kayu berwarna batu delima.
Aspirasi Sumedha untuk mencapai Ke-Buddha-an
Sumedha, yang sedang bertiarap, seketika muncul keinginan untuk menjadi Buddha, “Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya ? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipankara ? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai ke-Buddha-an.”
“Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai ke-Buddha-an dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”
“Setelah mencapai ke-Buddha-an sebagai hasil dari perbuatanku yang tiada bandingnya dengan bertiarap dan menjadi jembatan untuk Buddha Dipankara, aku akan menolong banyak makhluk keluar dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”
“ Setelah menyeberangi sungai samsara dan meninggalkan tiga alam kehidupan, aku akan menaiki rakit Dhamma Jalan Mulia Berfaktor Delapan dan pergi menyelamatkan semua makhluk termasuk dewa.” Demikianlah pikirannya bercita-cita untuk menjadi Buddha.
Sumitta , Kelak Menjadi Yasodhara
Sewaktu Sumdedha sedang memikirkan cita-cita untuk mencapai ke-Buddha-an, seorang Brahmana perempuan muda bernama Sumitta bergabung dengan para penduduk menyambut Buddha. Ia membawa delapan kuntum bunga teratai untuk dipersembahkan pada Buddha Dipankara. Sewaktu ia sampai di tengah-tengah keramaian dan begitu matanya menatap Sumedha, ia terpesona dan seketika jatuh cinta kepadanya. Ia ingin mempersembahkan sesuatu pada Sumedha, tapi ia tidak memiliki apa-apa kecuali delapan kuntum teratai. Kemudian ia berkata kepada Sumedha, “Yang Mulia petapa, aku berikan padamu lima kuntum bunga teratai, agar engkau dapat mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa tiga kuntum ini adalah sebagai persembahanku kepada Buddha”. Kemudian ia menyerahkan lima kuntum bunga teratai itu kepada Sumedha, kemudian menyampaikan keinginannya, “ Yang Mulia Petapa, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai Ke-Buddha-an ; semoga aku dapat selalu menjadi pendampingmu.”
Sumedha menerima bunga teratai dari Sumitta dan di tengah-tengah keramaian, mempersembahkannya kepada Buddha-Dipankara, yang datang menghampirinya.
Ramalan Pasti dari Buddha Dipankara : Sumedha kelak akan menjadi Buddha
Mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumitta, Buddha membuat ramalan di tengah-tengah keramaian :
“ O… Sumedha, perempuan ini Sumitta, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, ia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, ia akan berpenampilan cantik dan menyenangkan, manis tutur katanya dan baik hati. Dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, dalam kelahiranmu yang terakhir, ia akan menjadi murid perempuan yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang Arahanta, lengkap dengan kemampuan batin tinggi.”
Pada saat Buddha-Dipankara menyatakan hal tersebut diatas, Petapa Sumedha memang telah memenuhi kedelapan faktor yang diperlukan untuk menerima ramalan kepastian bahwa kelak ia akan menjadi Buddha. Kedelapan faktor tersebut adalah :
1. Ia adalah manusia
2. Ia adalah laki-laki
3. Telah memenuhi semua kondisi seperti Kesempurnaan yang diperlukan untuk meraih tingkat ke-Arahatta-an dalam kehidupan itu juga
4. Dia harus bertemu muka dengan muka dengan seorang Buddha yang hidup.
5. Dia harus menjadi seorang Petapa yang percaya hukum karma (Kammavadi) atau
pernah menjadi anggota Sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
6. Dia harus memiliki kekuatan-batin / mencapai keempat Rupa-Jhana dan keempat Arupa-Jhana ( yang dikenal sebagai “Attha-Samapatti-Jhana-Labhi” ).
7. Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memperdulikan hidupnya .
8. Dia harus memiliki kebulatan tekad yang kuat untuk menjadi seorang Buddha meskipun dia tahu bahwa dia akan menanggung penderitaan sebagai binatang, setan, dan lain-lain di dunia yang menyedihkan. Dengan kata lain, dia harus mencegah dirinya untuk mencapai tingkat Arahat, dengan tekad bulat dan tetap berdiam di dalam samsara untuk kepentingan umat manusia dan para dewa.Mengetahui bahwa Sumedha memiliki persyaratan ini, Buddha Dipankara menghampiri Sumedha dan berdiri di dekat kepalanya, selagi ia masih bertiarap, dengan kekuatan batin-Nya, melihat jauh ke masa depan untuk mengetahui apakah Sumedha, yang sedang berbaring tiarap di atas lumpur, yang berkeinginan untuk menjadi Buddha, dapat tercapai keinginannya atau tidak.
Buddha Dipankara mengetahui semua tentang masa depan Sumedha, dan berkata,” Sumedha akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4 Asankkheyya-Kappa dan 100.000 Kappa sejak saat ini.”
Setelah mendengar ramalan Buddha Dipankara yang tiada bandingnya di tiga alam, dewa dan manusia bersorak gembira, “Dikatakan Sumedha Sang petapa, adalah benar-benar seorang Bakal Buddha.” Mereka menepuk lengan kiri atas mereka dalam kegembiraan ( pada masa itu mereka tidak bertepuk tangan untuk menyatakan kegembiraan, tapi menepuk lengan kiri dengan telapak tangan kanan ). Dewa dan Brahma yang datang dari sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan manusia mengangkat tangan memberi penghormatan.
Mereka juga mengungkapkannya lewat pengharapan,” Meskipun sekarang kami gagal dalam melatih ajaran Buddha Dipankara, raja dunia, kami akan bertemu lagi dengan petapa mulia ini yang kelak akan menjadi Buddha; saat itu kami akan sungguh-sungguh berusaha keras untuk mencapai pengetahuan Dhamma yang lebih tinggi.”
Setelah Buddha Dipankara membuat ramalan, Ia pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya di sebelah Sumedha. Keempat ratus ribu Arahanta juga meninggalkan tempat dengan Sumedha di sisi kanan mereka ( setelah mempersembahkan bunga dan dupa ). Demikian pula dengan manusia, para Naga, musisi Surgawi ( Gandhabba ) meninggalkan tempat setelah memberi penghormatan kepada Sumedha dan mempersembahkan bunga dan dupa.